22 Jul Habakuk 02: Menantikan Tuhan
Habakuk 1:12-2:5
Bukankah Engkau, ya TUHAN, dari dahulu Allahku, Yang Mahakudus? Tidak akan mati kami. Ya TUHAN, telah Kautetapkan dia untuk menghukumkan; ya Gunung Batu, telah Kautentukan dia untuk menyiksa. Mata-Mu terlalu suci untuk melihat kejahatan dan Engkau tidak dapat memandang kelaliman. Mengapa Engkau memandangi orang-orang yang berbuat khianat itu dan Engkau berdiam diri, apabila orang fasik menelan orang yang lebih benar dari dia? Engkau menjadikan manusia itu seperti ikan di laut, seperti binatang-binatang melata yang tidak ada pemerintahnya? Semuanya mereka ditariknya ke atas dengan kail, ditangkap dengan pukatnya dan dikumpulkan dengan payangnya; itulah sebabnya ia bersukaria dan bersorak-sorai. Itulah sebabnya dipersembahkannya korban untuk pukatnya dan dibakarnya korban untuk payangnya; sebab oleh karena alat-alat itu pendapatannya mewah dan rezekinya berlimpah-limpah. Sebab itukah ia selalu menghunus pedangnya dan membunuh bangsa-bangsa dengan tidak kenal belas kasihan?
Aku mau berdiri di tempat pengintaianku dan berdiri tegak di menara, aku mau meninjau dan menantikan apa yang akan difirmankan-Nya kepadaku, dan apa yang akan dijawab-Nya atas pengaduanku. Lalu TUHAN menjawab aku, demikian: “Tuliskanlah penglihatan itu dan ukirkanlah itu pada loh-loh, supaya orang sambil lalu dapat membacanya. Sebab penglihatan itu masih menanti saatnya, tetapi ia bersegera menuju kesudahannya dengan tidak menipu; apabila berlambat-lambat, nantikanlah itu, sebab itu sungguh-sungguh akan datang dan tidak akan bertangguh. Sesungguhnya, orang yang membusungkan dada, tidak lurus hatinya, tetapi orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya. Orang sombong dan khianat dia yang melagak, tetapi ia tidak akan tetap ada; ia mengangakan mulutnya seperti dunia orang mati dan tidak kenyang-kenyang seperti maut, sehingga segala suku bangsa dikumpulkannya dan segala bangsa dihimpunkannya.”
Adakah anda yang masih ingat apa itu internet dial-up? Ada hari-hari di mana kita harus menunggu selama lima menit jika ingin terhubung ke internet. Kita harus menyalakan komputer, menghubungkannya ke telepon dan modem, dan mendengar suara *dial-up*. Dan lima menit itu hanya untuk mengakses internet. Kita harus menunggu beberapa menit lagi sebelum bisa membuka email, dan beberapa menit lagi untuk membuka file yang kita inginkan. Jadi kita membutuhkan sekitar 10 menit untuk membuka satu file. Dan apa yang kita lakukan selama 10 menit itu? Kita menunggu sambil bermain snake di Nokia kita. Ada yang tahu apa yang saya bicarakan? Tetapi hari ini sangat berbeda. Jika kita mengakses internet di hp kita, dan kita harus menunggu lebih dari lima detik, kita akan berkata, “Ini kenapa internetnya lambat sekali? Aku ga punya lima detik untuk menunggu ini. Aku butuh internet yang lebih cepat.” Atau jika kita mengirim text kepada seseorang dan kita melihat gelembung-gelembung kecil, dan kita menunggu lebih dari 10 detik, kita berkata pada diri kita sendiri, “Aku tahu kamu sedang mengetik. Tapi kenapa lama sekali? Aku sudah text kamu 20 detik yang lalu.” Saya yakin tidak ada di antara kita yang suka menunggu. Kita ingin segala sesuatu serba cepat. Hari ini kita akan berbicara tentang menantikan Tuhan. Jika anda sudah lama bergereja, anda pasti sudah tidak asing lagi dengan perkataan “menantikan Tuhan.” Ini adalah salah satu tema utama dalam Alkitab dan orang-orang di gereja sering mengatakannya. “Aku sedang menantikan Tuhan… Kamu harus menantikan Tuhan… Kita harus belajar menantikan Tuhan…” Banyak orang mengucapkannya tetapi tidak ada yang benar-benar tahu apa artinya kecuali kedengarannya rohani. Jadi, apa artinya menantikan Tuhan? Itulah yang akan kita bicarakan hari ini dalam khotbah kedua dari seri kitab Habakuk.
Saya akan rangkum apa yang telah kita pelajari sebelumnya. Kitab Habakuk membahas tentang pertanyaan-pertanyaan yang kita miliki ketika hidup tidak berjalan sesuai dengan yang kita harapkan. “Apakah Tuhan memegang kendali? Apakah Tuhan tahu apa yang sedang terjadi? Jika iya, mengapa sepertinya Dia tidak melakukan pekerjaan-Nya dengan baik? Di manakah Tuhan ketika aku membutuhkan Dia?” Kitab Habakuk berbicara tentang iman dalam kesukaran hidup. Di awal kitab ini, Habakuk merasa frustrasi dengan kejahatan yang ia lihat di sekelilingnya. Dia melihat Yehuda jatuh ke dalam kehancuran moral dan dia berdoa untuk kebangunan rohani, tetapi sepertinya Tuhan mengabaikannya. Dia bertanya, “Tuhan, di manakah Engkau? Mengapa Engkau membiarkan hal ini terjadi? Berapa lama lagi sebelum Engkau melakukan sesuatu terhadap keadaanku?” Dan setelah beberapa waktu, Tuhan menjawab, “Habakuk, Aku tidak pergi ke mana-mana, dan Aku tahu segala sesuatu yang terjadi. Lihatlah dan perhatikanlah Habakuk. Aku akan melakukan sesuatu yang tidak akan dapat kamu percayai bahkan jika Aku mengatakannya kepadamu. Aku akan menggunakan Babel untuk mendisiplinkan Yehuda.” Dengan kata lain, Tuhan berkata, “Aku tahu kamu ingin Aku membuat situasimu menjadi lebih baik, tetapi Aku tidak akan melakukannya; Aku akan membuat situasimu menjadi lebih buruk.” Dan Habakuk menjawab, “Bagaimana mungkin Engkau melakukan itu? Itu tidak masuk akal.” Habakuk sangat bingung. Bukan hanya ia tidak mendapatkan kebangunan rohani yang ia inginkan, tetapi ia juga tidak bisa menyelaraskan apa yang ia ketahui tentang Tuhan dengan tindakan Tuhan. Habakuk benar-benar tidak mengerti.
Jadi, Habakuk sekarang memiliki dua pilihan. Apakah dia akan mempercayai Tuhan? Atau dia akan mempercayai hikmatnya sendiri? Dan dua pilihan itu adalah pilihan yang sama yang kita miliki dalam kesukaran hidup dan ketika hidup tidak masuk akal. Kita harus membuat pilihan. Apakah kita akan mempercayai Tuhan? Atau apakah kita akan mempercayai diri kita sendiri? Dan ini yang harus kita mengerti. Di dalam kesukaran hiduplah kita akan tahu apakah kita percaya kepada Tuhan atau tidak. Jika kita percaya kepada Tuhan, kita akan menantikan Tuhan. Dan Habakuk akan mengajarkan kita apa artinya menantikan Tuhan.
Saya memiliki tiga poin untuk khotbah saya: keluhan Habakuk; masa penantian; jawaban Tuhan.
Keluhan Habakuk
Habakuk 1:12-13 – Bukankah Engkau, ya TUHAN, dari dahulu Allahku, Yang Mahakudus? Tidak akan mati kami. Ya TUHAN, telah Kautetapkan dia untuk menghukumkan; ya Gunung Batu, telah Kautentukan dia untuk menyiksa. Mata-Mu terlalu suci untuk melihat kejahatan dan Engkau tidak dapat memandang kelaliman. Mengapa Engkau memandangi orang-orang yang berbuat khianat itu dan Engkau berdiam diri, apabila orang fasik menelan orang yang lebih benar dari dia?
Perhatikan apa yang Habakuk katakan tentang Tuhan dalam ayat 12. Ia berkata, “Tuhan, Engkau berasal dari kekekalan. Engkaulah Yang Mahakudus. Engkaulah Gunung Batu.” Habakuk memulai dengan pernyataan tentang karakter Tuhan. Dia tahu siapa Tuhan. Dia tahu bahwa meskipun seluruh dunia berubah, Tuhan tidak berubah. Dia yakin bahwa Tuhan akan melakukan apa yang benar. Dan dia juga berkata, “Tidak akan mati kami.” Ini menarik. Tuhan baru saja memberitahu Habakuk bahwa Tuhan akan menggunakan Babel untuk menghancurkan Yehuda. Apa yang dimaksud Habakuk dengan tidak akan mati kami? Apakah ini hanya harapan kosong, “Aku yakin semuanya akan baik-baik saja. Tuhan tidak akan membiarkan kita mati. Kita hanya perlu berpikir positif”? Saya rasa tidak. Habakuk tahu bahwa Babel akan datang. Dia tahu bahwa akan ada banyak kematian. Tetapi dia juga tahu bahwa Tuhan adalah Tuhan yang memiliki perjanjian yang kekal. Dia berkata, “Tuhan, aku tahu Engkau adalah Yang Mahakudus dan Engkau akan menegakkan keadilan. Tetapi pada akhirnya, kami tidak akan dimusnahkan. Engkau telah berjanji bahwa kami adalah umat-Mu. Jadi, penghakiman apa pun yang akan datang, Engkau pasti tidak akan memusnahkan kami sepenuhnya.” Habakuk tahu bahwa Tuhan adalah Tuhan yang memiliki perjanjian yang kekal dan ia berpegang teguh pada kebenaran itu. Mengapa ini penting? Karena ketika dalam kesukaran hidup, sangat mudah bagi kita untuk berpikir bahwa Tuhan telah berubah. Sangat mudah bagi kita untuk berpikir bahwa Tuhan telah berubah pikiran tentang kita. Tetapi itu tidak benar. Bahkan ketika segala sesuatu telah berubah, Yesus Kristus tetaplah sama kemarin, hari ini, dan selamanya. Tuhan dan tujuanNya tidak pernah berubah. Dia selamanya adalah Gunung Batu.
Jadi, di satu sisi, Habakuk yakin akan siapa Tuhan. Di sisi lain, ia tidak mengerti apa yang Tuhan lakukan. Di ayat 13, dia bertanya, “Tuhan, mengapa? Aku mengerti mengapa Engkau ingin mendisiplinkan kami, tetapi mengapa Babel? Engkau terlalu suci untuk mentolerir kejahatan dan melihat kesalahan. Kami mungkin jahat, tetapi Babel lebih jahat. Bagaimana mungkin Engkau lebih memilih Babel yang jahat daripada kami?” Jadi, Habakuk tidak datang kepada Tuhan dan berkata, “Tuhan, Engkau jahat. Engkau pasti tidak baik karena Engkau membiarkan hal itu terjadi.” Tidak. Dia berkata, “Aku tahu Engkau baik. Aku tahu Engkau kuat. Aku tahu Engkau benar. Tetapi aku tidak dapat memahami apa yang aku lihat dan aku alami. Bantulah aku.” Iman Habakuk bukanlah iman yang lemah tetapi iman yang bingung. Dia tidak berlari dari Tuhan. Dia menegaskan siapa Tuhan dan dia datang kepada Tuhan untuk mencari pengertian. Dia bergumul dengan Tuhan. Apakah anda melihatnya? Umat Kristus yang dewasa tidak takut untuk bergumul dengan Tuhan. Habakuk kemudian membangun kasusnya menantang Tuhan menggunakan Babel sebagai alat keadilan-Nya.
Habakuk 1:14-17 – Engkau menjadikan manusia itu seperti ikan di laut, seperti binatang-binatang melata yang tidak ada pemerintahnya? Semuanya mereka ditariknya ke atas dengan kail, ditangkap dengan pukatnya dan dikumpulkan dengan payangnya; itulah sebabnya ia bersukaria dan bersorak-sorai. Itulah sebabnya dipersembahkannya korban untuk pukatnya dan dibakarnya korban untuk payangnya; sebab oleh karena alat-alat itu pendapatannya mewah dan rezekinya berlimpah-limpah. Sebab itukah ia selalu menghunus pedangnya dan membunuh bangsa-bangsa dengan tidak kenal belas kasihan?
Jika anda suka memancing, anda akan menghargai analogi Habakuk. Saya tidak suka memancing. Saya hanya pernah memancing beberapa kali, dan saya tidak menikmatinya karena saya tidak mendapatkan apa-apa. Tetapi saya ingat ketika saya masih kecil saya pernah memancing di kolam yang penuh dengan ikan. Dan itu menyenangkan karena saya menangkap banyak ikan. Itu sangat mudah karena ikan-ikan itu tidak bisa pergi ke mana-mana. Mereka terjebak di dalam kolam. Itulah gambaran yang kita miliki di sini. Habakuk mengatakan bahwa manusia itu seperti ikan di laut, menunggu untuk ditangkap oleh jaring Babel. Mereka adalah sasaran empuk bagi Babel. Babel bersukacita dan bergembira karenanya. Dan yang lebih buruk lagi, Babel memberikan korban dan persembahan kepada jaring mereka, dan mereka menjadi kaya. Mereka adalah penyembah berhala. Habakuk pada dasarnya berkata kepada Tuhan, “Bagaimana hal ini dapat diterima oleh-Mu? Bagaimana mungkin Engkau berkenan terhadap Babel yang menyembah kesuksesan mereka sendiri? Apakah ini rencana-Mu? Berapa lama lagi Engkau akan membiarkan Babel memangsa bangsa-bangsa dan tidak menunjukkan belas kasihan-Mu? Bagaimana mungkin kejahatan Babel dapat mewujudkan keadilan-Mu?” Itulah keluhan Habakuk. Habakuk tahu bahwa Tuhan pasti memiliki tujuan yang lebih besar, tetapi dia tidak mengerti. Terlalu sulit bagi Habakuk untuk memahaminya.
Inilah yang dapat kita pelajari dari Habakuk. Adalah satu hal untuk mengajukan keluhan dan siap untuk mendengar jawabannya, tetapi adalah hal yang berbeda untuk mengajukan keluhan dengan pikiran yang sudah menentukan jawabannya. Anda tahu apa yang saya maksudkan? Pasangan yang sudah menikah, adalah satu hal untuk datang kepada pasangan anda dengan keluhan dan siap untuk mempertimbangkan jawabannya. Adalah hal lain jika anda mengeluh kepada pasangan anda dengan pikiran bahwa dia bodoh sebelum anda mendengar jawabannya. Yang pertama adalah sikap rendah hati, dan yang kedua adalah sikap arogansi. Yang satu mencari pengertian, yang satu mengasumsikan semua pengertian. Keluhan yang sehat adalah ketika anda membiarkan orang lain memiliki kata terakhir. Inilah yang dilakukan oleh Habakuk. Dia mengeluh kepada Tuhan, tetapi dia memberikan kata terakhir kepada Tuhan. Dan kita sering melihat hal ini dalam kitab Mazmur. Contoh, Mazmur 73. Dalam Mazmur tersebut, Asaf bertanya kepada Tuhan, “Mengapa Engkau membiarkan orang benar menderita dan orang fasik makmur? Mengapa Engkau membiarkan orang fasik menjadi kaya dan semakin kaya, sementara orang benar hidup dalam kesengsaraan? Aku tidak mengerti.” Jadi hampir sepanjang mazmur, Asaf mengeluh kepada Tuhan. Namun, dia tidak berhenti di keluhannya. Dia mengakhiri mazmur dengan mengatakan, “Siapa gerangan ada padaku di sorga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi. Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya.” Anda bisa lihat? Ini bukan tentang di mana ia memulai, tetapi di mana ia berakhir. Keluhan yang sehat kepada Tuhan akan memberikan kata terakhir kepada Tuhan. Jadi setelah Habakuk mengeluh kepada Tuhan, ia sekarang menunggu jawaban dari Tuhan. Ada waktu untuk berbicara, dan ada waktu untuk menanti dan mendengarkan.
Masa penantian
Habakuk 2:1 – Aku mau berdiri di tempat pengintaianku dan berdiri tegak di menara, aku mau meninjau dan menantikan apa yang akan difirmankan-Nya kepadaku, dan apa yang akan dijawab-Nya atas pengaduanku.
Habakuk tahu bahwa hanya Tuhan yang memiliki jawaban yang ia butuhkan. Jadi, ia menantikan Tuhan. Tetapi apa artinya menantikan Tuhan? Ada tiga cara untuk menantikan Tuhan yang dapat kita lihat dalam ayat ini. Pertama, menanti dengan sabar. Kita tidak tahu berapa lama Habakuk harus menantikan jawaban dari Tuhan. Ayat ini tidak memberi tahu kita. Namun, ia memposisikan dirinya untuk mendengar jawaban dari Tuhan. Dengan kata lain, Habakuk harus bersabar. Jika anda sedang menunggu bus untuk pergi ke gereja dan bus itu tidak kunjung datang, lalu anda pulang ke rumah, anda tidak lagi menunggu. Anda sudah menyerah. Jika anda berada di ruang tunggu dokter dan dokter tidak memangil anda dan anda pulang, itulah akhirnya. Anda tidak akan bertemu dengan dokter. Atau anda bisa menunggu. Menunggu berarti tidak menyerah. Menunggu berarti bersabar. Jadi, hal yang paling mendasar dari menantikan Tuhan adalah ketika hidup tidak masuk akal, ketika kita bingung, ketika kita tidak mengerti apa yang sedang terjadi dalam hidup kita, jangan pulang ke rumah. Jangan menyerah. Bersabarlah. Dan kesabaran membutuhkan kerendahan hati. Tahukah anda mengapa anda tidak sabar? Karena anda berpikir anda tahu bagaimana segala sesuatu akan terjadi. Anda berasumsi bahwa anda tahu persis apa yang harus terjadi. Ketika ada yang tidak beres dan anda tidak sabar, anda menganggap diri anda mahatahu. Anda kesal karena anda pikir anda tahu apa yang terbaik. Tetapi sebenarnya anda tidak tahu. Anda tidak sabar karena anda sombong. Kesabaran membutuhkan kerendahan hati.
Anda ingat cerita Ayub? Dia kehilangan segalanya dan dia mempertanyakan mengapa Tuhan mengizinkannya mengalami semua penderitaan itu. Tetapi di tengah-tengah kitab Ayub, dia berkata dalam Ayub 23:10 – Karena Ia tahu jalan hidupku; seandainya Ia menguji aku, aku akan timbul seperti emas. Emas adalah barang yang sangat berharga. Untuk membuat emas menjadi lebih berharga, mereka akan memasukkan emas ke dalam api untuk membakar semua kotoran yang menempel pada emas. Jadi Ayub berkata, “Aku tidak mengerti apa yang Tuhan sedang lakukan terhadapku, tetapi Dia mengerti. Aku tidak tahu, tetapi Dia tahu persis apa yang Dia sedang lakukan. Dia menggunakan semua rasa sakit ini untuk memurnikan aku. Dan ketika aku keluar dari api ini, aku akan jauh lebih baik dari sebelumnya. Aku akan timbul seperti emas.” Itulah kesabaran. Itulah kerendahan hati. Ayub tahu bahwa Tuhan sedang melakukan sesuatu yang besar baginya melalui rasa sakit itu dan ia tidak menyerah. Menantikan Tuhan berarti tidak menyerah, bersabar dalam keadaan apapun meskipun kita sangat bingung.
Kedua, menanti dengan perspektif. Lihat apa yang dilakukan Habakuk. Dia menempatkan dirinya di atas menara. Mengapa kota-kota di jaman kuno membangun menara? Mereka membangun menara agar dapat melihat kejauhan. Di dataran, perspektif mereka sangat terbatas. Ada banyak hal yang tidak dapat mereka lihat. Tetapi di atas menara, mereka memiliki perspektif yang lebih baik. Semakin tinggi menara, semakin jauh mereka bisa melihat. Mereka dapat melihat musuh yang datang dari kejauhan, sedangkan di dataran mereka tidak dapat melihat sampai semuanya terlambat. Lalu apa artinya bagi kita untuk menempatkan diri kita di atas menara? Itu berarti kita tidak bisa hanya melihat penderitaan kita, tetapi kita harus melihat penderitaan kita dalam perspektif yang lebih besar yang Alkitab berikan kepada kita. Sebagai contoh, Rasul Paulus. Saya rasa tidak ada orang yang mengalami penderitaan yang lebih besar daripada Paulus selain Yesus. Hidup Paulus dipenuhi dengan penderitaan. Dia dianiaya. Dia menderita penyakit fisik. Dia dipukuli. Dia mengalami banyak kapal karam. Saya tidak tahu bagaimana dengan anda, tetapi jika saya naik pesawat dan pesawat itu hampir jatuh, saya tidak akan terbang lagi. Saya akan berenang.
Jika kita ingin membandingkan penderitaan kita dengan Paulus, itu terlihat seperti taman kanak-kanak dibanding gelar PHDnya. Tetapi tahukah anda apa yang Paulus katakan tentang semua penderitaannya? “Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.” Dia berkata, “Ketika aku menempatkan segala sesuatu yang aku alami dalam perspektif yang lebih besar, ketika aku menghitungnya, penderitaanku terlihat sangat kecil jika dibandingkan dengan kemuliaan yang akan datang kepadaku.” Tahukah anda apa yang Paulus lakukan? Paulus naik ke atas menara. Dia melihat gambar besarnya. Tiba-tiba penderitaannya terlihat kecil. Perhatikan. Tidak peduli apa yang kita alami. Tidak peduli betapa sakitnya hal itu. Jika kita dapat melihat kemuliaan yang akan datang kepada kita, jika kita dapat melihat kekayaan sejati yang menunggu kita, kita akan dapat bertahan menghadapi apa pun yang ada di depan kita. Itulah maksudnya menanti dengan perspektif.
Ketiga, menanti dengan tekun. Habakuk berkata, “Aku akan berdiri di tempat pengintaianku.” Ini berarti dia menolak untuk berdiam saja. Jika anda seorang penjaga yang sedang bertugas, berdiri di tempat pengintaian berarti, tidak peduli jika anda tidak menyukainya, tidak peduli jika anda mengantuk, tidak peduli jika anda bosan, anda tidak akan meninggalkan tempat anda. Anda akan terus berjaga-jaga. Karena jika anda tidak melakukannya dan musuh menyerang, seluruh kota akan hancur. Ini adalah cara Habakuk untuk mengatakan, “Aku tahu aku sakit. Aku tahu aku bingung. Aku tahu aku kecewa. Tetapi aku akan terus bergumul dengan Tuhan. Aku tidak akan pergi ke mana-mana. Aku akan terus melakukan apa yang harus aku lakukan. Aku tidak akan berhenti.” Apa artinya bagi kita? Sederhana saja. Ketika dalam kesukaran hidup, godaan utama adalah untuk kita menyerah. Kita berhenti datang ke gereja. Kita berhenti datang KM. Kita berhenti berdoa. Kita berhenti melayani. Mengapa? Karena kita merasa tidak mendapatkan apa-apa dari hal tersebut. Mengapa kita harus terus melakukan sesuatu yang tidak bermanfaat bagi kita?
Suatu ketika, seseorang berkata kepada John Newton, penulis lagu pujian Amazing Grace, “Aku tidak mendapatkan apa-apa dari berdoa, jadi aku akan berhenti berdoa.” Dan John Newton menjawab, “Aku tidak dapat mengatakan dengan pasti bahwa kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan jika kamu terus berdoa, tetapi aku sangat yakin kamu tidak akan mendapatkan apa-apa jika kamu berhenti berdoa. Jadi, teruslah berdoa.” Menantikan Tuhan berarti bahkan ketika kita tidak ingin melakukannya, kita tetap melakukan apa yang harus kita lakukan. Dengan kata lain, jika kita sebelumnya berdoa, tetaplah berdoa. Jika kita sebelumnya membaca Alkitab, tetaplah membaca Alkitab. Jika kita sebelumnya melayani, tetaplah melayani. Jika kita sebelumnya taat kepada Tuhan, tetaplah taat. Jika kita sebelumnya rajin KM, tetaplah rajin KM. Seburuk apa pun keadaan kita, tetaplah melakukan apa yang seharusnya kita lakukan. Lakukan hal berikutnya. Ambil satu langkah demi satu langkah.
Dan saya tahu apa yang anda pikirkan saat ini. “Berapa lama? Berapa lama aku harus menunggu sebelum Tuhan menjawab doaku? Aku telah bergumul dengan Tuhan begitu lama dan aku masih belum melihat hasilnya. Aku lelah. Aku capek. Aku ingin menyerah.” Menunggu itu sangat sulit. Tetapi yang membuatnya lebih sulit lagi adalah tidak mengetahui berapa lama kita harus menunggu. Anda tahu apa yang saya maksudkan? Kita tidak keberatan menunggu jika kita bisa mendapatkan jawabannya dalam 24 jam. Benar? Tetapi bagaimana jika kita harus menunggu selama 6 bulan? Bagaimana jika kita harus menunggu selama 6 tahun? Bagaimana jika kita sedang dalam kesukaran, dan kita tidak tahu berapa lama itu akan berlangsung? Dengarkan apa yang Tim Keller katakan tentang menantikan Tuhan. “Menantikan Tuhan berarti mengasihi Dia apa adanya. Itu berarti setia kepada-Nya bahkan ketika anda tidak mendapatkan apa pun. Hanya pada saat-saat sukarlah anda memiliki kesempatan untuk mengubah hubungan yang mementingkan diri sendiri dan eksploitatif dengan Tuhan menjadi kasih yang sejati. Hanya pada saat anda tidak mendapatkan keuntungan sama sekali mengasihi Dia.”
Inilah yang saya ketahui tentang setiap kita. Kita tidak benar-benar tahu apakah kita benar-benar mengasihi Tuhan sampai Tuhan adalah satu-satunya yang kita miliki, dan Dia cukup. Izinkan saya berbicara dari pengalaman saya sendiri. Saya tidak benar-benar belajar untuk mempercayai Tuhan sampai saya tenggelam. Saya tidak benar-benar mengetahui bahwa Tuhan adalah yang saya butuhkan sampai Tuhan adalah satu-satunya yang saya miliki. Saya tidak benar-benar mengasihi Tuhan sampai saya mencapai titik terendah dalam hidup saya dan benar-benar yakin bahwa Tuhan telah meninggalkan saya, hanya untuk melihat tangan-Nya menopang saya. Baru setelah saya menghadapi masa-masa sukar, saya mengenal Tuhan dan mengasihi Dia untuk Dia. Melalui masa-masa sukar itulah saya berubah dari seorang konsumen menjadi seorang kekasih. Anda bisa lihat? Masa-masa sukar menunjukkan apakah kita menjalin hubungan dengan Tuhan karena kita mengasihi Dia atau karena kita ingin Dia melayani kita. Dan jika kita tetap bersama Tuhan dan belajar untuk mengasihi Dia apa pun yang terjadi, jika kita belajar untuk setia meskipun kita tidak mendapatkan apa pun dari-Nya, ketika kita tiba di sisi lain, kita akan menemukan bahwa masa-masa sukar telah mengubah hati kita menjadi emas.
Jawaban Tuhan
Habakuk 2:2-3 – Lalu TUHAN menjawab aku, demikian: “Tuliskanlah penglihatan itu dan ukirkanlah itu pada loh-loh, supaya orang sambil lalu dapat membacanya. Sebab penglihatan itu masih menanti saatnya, tetapi ia bersegera menuju kesudahannya dengan tidak menipu; apabila berlambat-lambat, nantikanlah itu, sebab itu sungguh-sungguh akan datang dan tidak akan bertangguh.
Kita tidak tahu berapa lama Habakuk menanti jawaban dari Tuhan, tetapi dia menunggu, dan Tuhan menjawabnya. Dan inilah yang menakjubkan tentang jawaban Tuhan. Habakuk baru saja mengeluh kepada Tuhan tentang Tuhan. Kita mungkin berpikir bahwa Tuhan akan menjawab dengan menghantam Habakuk dengan petir dari surga. Tetapi ternyata tidak. Sebaliknya, Tuhan menjawab dengan sebuah gambaran pengharapan. Tuhan berkata, “Habakuk, Aku ingin kamu mengambil loh-loh dan menuliskan apa yang akan Kukatakan kepadamu.” Dengan kata lain, Tuhan ingin umat-Nya mengetahui apa yang akan Dia katakan. Dia ingin hal itu diposting di Instagram, Facebook, X, situs web gereja, dll. Dia ingin semua orang mendapatkan pesan ini. Mengapa? Karena Tuhan tahu bahwa umat-Nya akan membutuhkannya. Ketika mereka membaca apa yang akan ditulis oleh Habakuk, mereka akan memiliki pengharapan di tengah penderitaan mereka. Karena penglihatan yang Tuhan berikan kepada Habakuk masih menanti saatnya. Bahasa Inggrisnya adalah “appointed time”, waktu yang telah ditentukan.
Perhatikan. Tuhan tidak mengatakan waktu saya, waktu anda, atau waktu Habakuk. Dia mengatakan waktu yang telah ditentukan. Dan itulah yang membuat sangat sulit bagi kita untuk menantikan Tuhan, benar? Kita ingin Tuhan bertindak pada waktu kita, ketika kita menginginkannya. Hidup akan jauh lebih mudah jika demikian. Tetapi bukan itu cara kerja Tuhan. Tuhan tidak bekerja berdasarkan jadwal siapa pun; Tuhan bekerja berdasarkan jadwal-Nya sendiri. Tetapi satu hal yang pasti, apa pun yang Tuhan katakan pasti akan terjadi. Tuhan berkata kepada Habakuk, “Aku ingin kamu menuliskannya. Dan Aku ingin kamu menantikannya karena hal itu akan terjadi. Aku tidak bisa berbohong. Tidak peduli apa yang kamu alami, perkataan-Ku akan menjadi kenyataan. Itu mungkin terlihat lambat di matamu, tetapi sebenarnya tidak. Penglihatan itu pasti akan datang pada waktu yang telah ditentukan.” Tuhan tahu bahwa dari sudut pandang manusia, sejarah dapat terlihat seolah-olah berputar-putar, tetapi sebenarnya tidak. Tuhan telah menetapkan waktu yang tepat. Umat Tuhan harus menunggu dengan sabar sampai perkataan Tuhan menjadi kenyataan. Ya, hal ini membutuhkan penantian, tetapi mereka tidak menanti tanpa harapan. Mereka menanti karena mereka tahu bahwa segala sesuatu yang Tuhan katakan akan terjadi pada waktu yang tepat.
Mari saya memberi tahu anda mengapa hal ini penting. Ada sebuah eksperimen yang dilakukan di Universitas Johns Hopkins di mana seorang peneliti mencoba untuk menentukan berapa lama seekor tikus dapat berenang. Jika dia hanya melemparkan tikus ke dalam air, tikus itu bisa bertahan sekitar 10 menit sebelum dia kehilangan kekuatan dan mati. Tetapi jika dia mengeluarkan tikus dua sampai tiga kali selama 10 menit pertama dan kemudian kembali ke dalam air, tikus itu dapat berenang selama lebih dari 60 jam. Bukankah itu menarik? Satu-satunya perbedaan antara tikus yang bertahan selama 10 menit dan 60 jam adalah harapan. Pengharapan memberikan tikus kemampuan untuk berenang lebih dari 100 kali lebih lama daripada tanpa pengharapan. Tuhan tahu bahwa umat-Nya membutuhkan harapan sewaktu mereka menunggu. Itulah sebabnya Tuhan memerintahkan Habakuk untuk menuliskan penglihatannya sehingga umat Tuhan dapat menunggu dengan harapan bahwa Tuhan akan memperbaiki segala sesuatu pada waktu yang telah ditentukan. Tuhan tidak menjanjikan perbaikan yang cepat terhadap situasi. Penantian diperlukan. Rasa sakit tidak dapat dihindari. Tetapi Tuhan tidak akan berbohong. Keselamatan pasti akan datang. Jadi, bagaimana seharusnya umat Tuhan menantikan waktu yang telah ditentukan? Dengarkan apa yang Tuhan katakan selanjutnya. Dan inilah isi utama dari penglihatan itu.
Habakuk 2:4-5 – Sesungguhnya, orang yang membusungkan dada, tidak lurus hatinya, tetapi orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya. Orang sombong dan khianat dia yang melagak, tetapi ia tidak akan tetap ada; ia mengangakan mulutnya seperti dunia orang mati dan tidak kenyang-kenyang seperti maut, sehingga segala suku bangsa dikumpulkannya dan segala bangsa dihimpunkannya.”
Pada dasarnya Tuhan mengatakan bahwa ada dua jalan dalam hidup: jalan orang fasik dan jalan orang benar. Jalan orang fasik adalah jalan kesombongan. Mereka menaruh kepercayaan pada diri mereka sendiri, dan mereka melahap semua yang ada di jalan mereka. Ini adalah jalan Babel, dan kita akan membahas ini di khotbah berikutnya. Tetapi jalan orang benar adalah kebalikannya. Jalan orang benar adalah jalan iman. Yaitu mempercayai Tuhan apa pun yang terjadi. Jadi, Tuhan berkata kepada Habakuk, “Aku akan tetap menghakimi Yehuda. Kamu tidak dapat menghentikan kedatangan bangsa Babel. Tetapi ada cara agar kamu dan semua orang yang mendengarkan pesanmu tidak dinyatakan bersalah seperti bangsa Babel. Inilah cara untuk hidup: orang yang benar akan hidup oleh percayanya.” Atau terjemahan yang lebih tepat, orang yang benar akan hidup oleh iman. Tetapi apa yang dimaksud dengan hidup oleh iman? Dalam konteks Habakuk, ini bukanlah iman pada seperangkat kebenaran teologis. Karena bangsa Babel akan datang. Segalanya akan menjadi lebih buruk. Mereka akan mengalami lebih banyak penderitaan. Tetapi di tengah dunia yang runtuh di sekitar mereka, Tuhan ingin mereka percaya kepada Tuhan dan janji-janji-Nya. Tuhan ingin mereka setia kepada-Nya bahkan ketika hidup sangat menyakitkan. Mereka tidak dapat menghindari kehancuran yang akan terjadi ketika Babel menyapu Yehuda, tetapi mereka dapat menjadi orang yang benar jika mereka tetap percaya.
Habakuk 2:4 adalah salah satu ayat yang paling penting dalam Perjanjian Lama karena ini juga merupakan salah satu ayat yang paling penting dalam Perjanjian Baru. Ayat ini dikutip tiga kali dalam Perjanjian Baru. Mari saya tunjukkan ketiganya.
Roma 1:17 – Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: “Orang benar akan hidup oleh iman.”
Galatia 3:11 – Dan bahwa tidak ada orang yang dibenarkan di hadapan Allah karena melakukan hukum Taurat adalah jelas, karena: “Orang yang benar akan hidup oleh iman.”
Ibrani 10:37-38 – Sebab sedikit, bahkan sangat sedikit waktu lagi, dan Ia yang akan datang, sudah akan ada, tanpa menangguhkan kedatangan-Nya. Tetapi orang-Ku yang benar akan hidup oleh iman, dan apabila ia mengundurkan diri, maka Aku tidak berkenan kepadanya.
Setiap ayat ini layak untuk jadi khotbah sendiri, tetapi saya tidak akan melakukannya. Jika tidak, kita akan selesai ibadah jam 2 siang. Saya akan memberikan anda intinya saja. Dalam surat Roma, Paulus mengatakan bahwa Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan karena ketika kita percaya Injil, kita diperhitungkan sebagai orang benar, dan kita diselamatkan. Kita tidak menjadi benar karena apa yang kita lakukan, tetapi karena kita percaya pada apa yang Yesus telah lakukan. Iman kita kepada Yesuslah yang membuat kita menjadi benar di hadapan Allah. Itulah Roma. Dalam surat Galatia, Paulus menegaskan bahwa ketaatan pada hukum Taurat tidak dapat membuat seseorang menjadi benar. Hukum Taurat itu baik, tetapi hukum Taurat tidak berdaya untuk membuat seseorang menjadi benar di hadapan Allah. Hukum Taurat mendiagnosa masalah, tetapi tidak menyembuhkan masalah. Hanya iman kepada Yesuslah yang dapat membenarkan kita. Dan ini bukanlah sesuatu yang baru dalam Perjanjian Baru. Coba pikirkan tentang Habakuk. Habakuk mengeluh kepada Tuhan karena umat Tuhan tidak menaati hukum Taurat. Maka masuk akal jika Tuhan berkata, “Orang yang benar akan hidup oleh ketaatan kepada hukum Taurat.” Tetapi bukan itu yang Tuhan katakan. Sebaliknya, Tuhan berkata, “Orang yang benar akan hidup oleh iman.” Itulah Galatia. Tetapi dalam kitab Ibrani, penulis Ibrani mengutip kitab Habakuk dengan tujuan yang sedikit berbeda. Penulis Ibrani mengutip Habakuk untuk mendorong umat Kristus yang dianiaya untuk bertekun dalam iman. Konteks kitab Ibrani adalah orang-orang Yahudi Kristen menghadapi penganiayaan karena iman mereka. Mereka mengalami ketidakadilan dan banyak dari mereka yang tergoda untuk meninggalkan Kekristenan. Dan kepada orang-orang ini, penulis Ibrani berkata, “Jika kamu hidup oleh iman, kamu akan terus bertekun. Kamu tidak akan mundur.”
Jadi, mari kita gabungkan semua ayat-ayat ini. Apa yang dimaksud dengan hidup oleh iman? Hidup oleh iman bukanlah sekadar menyetujui serangkaian kebenaran di mana kita dibenarkan dan kemudian melanjutkan hidup kita. Hidup oleh iman berarti mempercayai Tuhan selama kita masih bernapas. Hidup oleh iman adalah prinsip hidup 24 jam sehari, 7 hari seminggu, 52 minggu setahun. Apakah anda mengerti? Terkadang lebih mudah bagi kita untuk mempercayai bagian keselamatan. “Yesus telah mati untuk aku, dan aku akan masuk surga karena Dia.” Itu indah tetapi iman bukan hanya itu. Iman juga di mana Tuhan berkata kepada Habakuk, “Bangsa Babel akan datang. Mereka akan menjarah kotamu. Mereka akan menghancurkan segala sesuatu yang kamu sayangi. Mereka akan mengambil alih bangsamu. Itu akan menjadi hal terburuk dan paling menyakitkan yang pernah terjadi padamu, tetapi kamu harus tetap percaya kepada-Ku.” Itulah iman. Pertanyaannya adalah, apakah kita memiliki iman? Ketika dalam kesukaran hidup, ketika hidup tidak masuk akal, apakah kita memiliki iman bahwa Tuhan menyertai kita? Apakah kita memiliki iman bahwa Tuhan memiliki tujuan untuk rasa sakit yang menyiksa kita? Apakah kita memiliki iman bahwa Tuhan tidak akan meninggalkan kita, bahkan ketika dunia kita runtuh? Hidup oleh iman bukanlah hanya percaya bahwa Tuhan sanggup menolong kita, tetapi bahkan ketika rencana Tuhan adalah kehancuran, kita tetap mempercayai Dia. Orang yang benar akan hidup oleh iman. Dan jika kita memiliki iman, kita akan menantikan Tuhan.
Tetapi bagaimana caranya? Bagaimana kita dapat menantikan Tuhan ketika dunia kita runtuh? Hanya ada satu cara. Sama seperti Habakuk yang menaruh imannya pada tujuan Tuhan dan bukan pada keadaan di sekelilingnya, kita harus berhenti melihat keadaan kita dan sebaliknya melihat pada tujuan Tuhan di dalam Yesus Kristus. Pada malam sebelum penyaliban, Yesus mengumpulkan semua muridnya dan dia melakukan hal yang tidak terpikirkan. Dia membasuh kaki murid-muridnya. Membasuh kaki seseorang adalah pekerjaan hamba yang paling rendah. Dan murid-muridnya sangat terkejut. Mereka berkata, “Rabi, mengapa kamu melakukan ini? Kamu adalah guru kami. Kamu adalah Mesias. Kamu bukan seorang hamba. Kamu tidak boleh membasuh kaki kami. Kamilah yang harus melayanimu.” Tahukah anda apa yang Yesus sedang lakukan? Yesus sedang menanti mereka. Yesus sedang melayani mereka. Yesus sedang berkata, “Aku akan melayanimu dengan mati di kayu salib. Aku akan membayar dosa-dosamu. Aku akan menanggung penghakiman Tuhan yang layak kamu terima sehingga karena imanmu kepadaku, kamu akan hidup.” Dan tidak hanya itu. Dalam salah satu perumpamaan Yesus tentang masa depan, dia berkata bahwa seperti seorang tuan yang pergi dalam sebuah perjalanan dan kembali, Yesus akan kembali untuk umatnya. Ketika tuannya kembali, beberapa hamba tetap setia karena mereka yakin tuannya akan kembali, sementara yang lain tidak setia karena mereka berpikir tuannya tidak akan kembali. Melalui perumpamaan ini, Yesus sedang berkata, “Aku ingin umatku menantikan aku. Aku ingin mereka hidup dengan setia, dengan sabar menantikan kedatanganku kembali.”
Namun, inilah bagian yang paling mengejutkan dari perumpamaan ini. Yesus berkata bahwa ketika tuannya kembali, dia akan mengenakan pakaian seorang pelayan, dan dia akan melayani hamba-hambanya yang setia. Apakah anda tahu apa artinya? Artinya, ketika Yesus datang kembali, ia akan menggunakan seluruh kuasanya yang tak terbatas, otoritasnya yang tak terbatas, dan hikmatnya yang tak terbatas untuk melayani kita. Dengan kata lain, jika kita dengan setia menantikan Yesus hari ini, jika kita dengan setia menantikan Tuhan sampai nafas terakhir kita, Yesus akan menantikan kita, dan dia akan melayani kita untuk selama-lamanya. Dan kita tahu bahwa kita dapat mempercayai perkataannya karena dia telah mati bagi kita di kayu salib. Di kayu salib, Yesus melayani kita. Dia memikul murka Tuhan dan dia tetap tekun. Dia tidak menyerah terhadap kita. Dia mengasihi kita sampai nafas terakhirnya. Itulah yang Yesus lakukan untuk kita di masa lalu. Dan itulah yang memberikan kita keyakinan bahwa dia akan melakukan hal yang sama di masa depan. Jika kita melihat Yesus menyerahkan seluruh kekuatannya untuk melayani kita di masa lalu dan juga di masa depan, jika kita melihat dia tidak menyerah terhadap kita bahkan di atas kayu salib, mengapa kita tidak dapat menantikan dia sekarang? Jika kita melihat Yesus menantikan kita di masa lalu dan di masa depan, kita dapat menantikan dia sekarang. Mari kita berdoa.
Discussion questions:
- What struck you the most from the sermon?
- Based on your experience, why is it hard to wait on God?
- Look at the three ways to wait on God (patiently, perspectively, diligently). Which one do you tend to neglect on your waiting and why?
- Explain the meaning of the phrase, “The righteous shall live by his faith”. What does it look like in your daily life?
- How does the gospel enable you to wait patiently on God?
Sorry, the comment form is closed at this time.