Rencana kita dan kehendak Tuhan

Yakobus 4:13-17

Jadi, sekarang, hai kamu yang berkata, “Hari ini atau besok kami berangkat ke kota anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung”, sedangkan kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap. Sebenarnya kamu harus berkata, “Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu.” Tetapi sekarang kamu memegahkan diri dalam kecongkakanmu, dan semua kemegahan yang demikian adalah salah. Jadi, jika seseorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa.

Ada dua jenis orang di dunia ini: orang yang suka membuat rencana dan orang yang menyukai spontanitas. Saya ingin tahu, berapa banyak dari anda yang suka membuat rencana? Anda adalah orang-orang saya. Berapa banyak yang menyukai spontanitas? Yesus mengasihi anda tetapi saya tidak mengerti anda. Saya seorang perencana. Saya berfungsi dengan optimal di lingkungan di mana segala sesuatunya terencana dan berjalan sesuai jadwal. Setiap pagi saya bangun, saya tahu jam berapa saya akan berangkat kerja, kapan saya akan minum kopi, kapan saya akan makan malam, dan dengan siapa saya akan bertemu, berapa lama, di mana, dan kapan. Bahkan, perencanaan saya begitu baik sehingga saya sudah menyiapkan materi khotbah saya untuk satu setengah bulan ke depan. Ketika saya membicarakan hal ini dengan para pendeta CTC Indonesia yang lain, mereka memandang saya seperti orang aneh. Kebanyakan pendeta mulai mempersiapkan khotbah mereka pada hari Senin sebelum hari Minggu dimana mereka harus berkhotbah. Saya bahkan mengenal beberapa pendeta yang mulai mempersiapkan khotbah mereka sehari sebelum mereka harus berkhotbah. Saya tidak bisa melakukan itu. Itu akan membuat saya panik. Jika saya tidak tahu apa yang akan saya khotbahkan setidaknya beberapa minggu sebelumnya, saya akan selalu merasa tidak tenang. Saya tidak suka spontanitas. Itulah sebabnya setiap kali saya bertemu dengan orang-orang yang menyukai spontanitas, mereka membuat saya merinding. Karena kemungkinan besar mereka akan mengganggu jadwal saya yang sudah direncanakan dengan baik. Tetapi bisakah kita setuju bahwa anda yang spontan pun tetap membuat rencana? Anda mungkin tidak menuliskan rencana anda, tetapi anda memiliki gambaran tentang apa yang akan anda lakukan dan ke mana anda akan pergi. Setiap orang membuat rencana.

Yakobus adalah kitab yang sangat praktis dalam menghubungkan iman Kekristenan dengan kehidupan sehari-hari. Yakobus ingin kita berpikir, “Jika kamu benar-benar percaya kepada Injil, jika kamu benar-benar percaya kepada apa yang telah Yesus lakukan untukmu, apa artinya hal itu bagi caramu hidup setiap hari? Apa bedanya hidupmu dengan mereka yang tidak percaya kepada Yesus?” Karena sangat mudah bagi kita untuk mengaku dengan mulut kita bahwa kita percaya kepada Yesus. Tetapi pertanyaannya adalah, apakah hidup kita mencerminkan iman kita? Dan dalam bacaan ayat hari ini, Yakobus berbicara tentang hal yang sangat amat biasa. Dia berbicara tentang salah satu hal yang paling normal yang kita lakukan, hal yang kita lakukan secara alamiah, yaitu membuat rencana. Dan inilah yang dikatakan Yakobus. Ada cara untuk membuat rencana yang baik, dan ada cara untuk membuat rencana yang salah. Iman kita kepada Tuhan harus mempengaruhi cara kita membuat rencana. Jadi, yang Yakobus ingin kita lakukan adalah untuk kita melihat kalender kita. Lihat jadwal kita. Lihat perencanaan kita. Kita dapat mengetahui apakah kita melayani Tuhan atau diri kita sendiri dengan melihat perencanaan kita. Mari kita lihat ayat ini bersama-sama.

Saya memiliki tiga poin untuk khotbah saya: masalah dengan perencanaan; bagaimana membuat perencanaan; mengapa itu penting.

 

 

Masalah dengan perencanaan

Yakobus 4:13-14 – Jadi, sekarang, hai kamu yang berkata, “Hari ini atau besok kami berangkat ke kota anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung”, sedangkan kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap.

Membaca sekilas, sepertinya Yakobus menentang perencanaan yang strategis. Ada seorang pengusaha yang berkata, “Aku melihat peluang bisnis di Chatswood. Jadi aku akan pindah ke Chatswood, tinggal di sana selama satu tahun, dan mengerjakan bisnisku.” Jadi orang ini memiliki rencana bisnis, jangka waktu, dan target pendapatan. Dan Yakobus berkata, “Kamu pikir kamu siapa untuk bisa membuat rencana seperti itu?” Tetapi bukan itu yang Yakobus katakan karena Alkitab memuji perencanaan. Dalam kitab Amsal, membuat rencana adalah hikmat, dan tidak membuat rencana adalah kebodohan. Ada pepatah Inggris terkenal yang mengatakan, “If you fail to plan, you plan to fail.” Dan itu benar. Suatu ketika Yesus berbicara kepada murid-muridnya tentang pentingnya membuat rencana. Yesus berbicara tentang seseorang yang sedang membangun sebuah menara, namun dia tidak melakukan perhitungan dengan benar sebelum mulai membangun. Dia tidak menyadari bahwa dia tidak memiliki cukup uang dan sumber daya untuk membangun menara tersebut, dan dia diejek oleh orang-orang karenanya. Yesus mengatakan kepada murid-muridnya untuk tidak melakukan hal yang sama. Itu adalah kebodohan. Jadi Yakobus tidak mungkin mengatakan bahwa membuat rencana adalah hal yang bodoh. Adalah baik untuk merencanakan masa depan kita. Kita tidak bisa pergi ke mana-mana tanpa perencanaan yang baik.

Jadi apa yang Yakobus katakan? Yakobus menentang cara perencanaan yang tertentu. Dia menentang cara perencanaan yang mengasumsikan bahwa kita memegang kendali atas masa depan. Lihat cara pengusaha ini membuat rencananya. Dia membuat rencana sedemikian rupa sehingga dia yakin apa yang akan terjadi besok. Itu semua tentang, “Rencanaku, jalanku, kekuatanku, kepintaranku, kesuksesanku.” Tidak ada rujukan sama sekali kepada Tuhan. Dia berpikir bahwa dia memegang kendali atas masa depannya. Dan kita melakukan hal yang sama setiap hari, benar? Membuat rencana sangatlah alami bagi kita. Kita bahkan tidak memikirkannya. Itu adalah sesuatu yang kita lakukan setiap saat. Tetapi Yakobus bertanya kepada kita, “Dalam caramu membuat rencana, apakah kamu berasumsi bahwa kamu memegang kendali atas hari esok? Apakah kamu berasumsi bahwa kamu tahu bagaimana segala sesuatunya akan terjadi?” Jadi Yakobus tidak menentang perencanaan, tetapi ia menentang pemikiran bahwa perencanaan kita adalah hal yang terpenting. Dia menentang bisikan di dalam hati kita yang mengatakan, “Aku telah melakukan penelitian, aku telah melakukan semua bagianku, aku telah membuat rencana yang terbaik yang aku bisa, dan sekarang aku memegang kendali atas masa depanku.” Kita berpikir bahwa selama kita membuat rencana dengan yang terbaik, selama kita melakukan rencana kita dengan tekun, kita dapat mengendalikan hasilnya. Dan itu adalah sebuah ilusi.

Dan ini bertentangan dengan apa yang dipercayai oleh budaya kita. Budaya kita mengatakan kepada kita, “Kamu bisa menjadi siapa pun yang kamu inginkan. Kamu bisa melakukan apa pun yang kamu inginkan. Selama kamu bekerja keras dan berkomitmen, langit adalah batasnya. Kamu adalah penguasa kehidupanmu.” Hampir semua film Disney mengkomunikasikan hal tersebut. “Masa depanmu ada di tanganmu. Masa depanmu adalah apa pun yang kamu buat. Jadi buatlah yang terbaik.” Tetapi inilah yang menarik. Ada sebuah buku sekuler yang sangat terkenal yang ditulis oleh Malcolm Gladwell, yang berjudul Outliers. Dan dalam buku itu, ia berpendapat bahwa kesuksesan sebenarnya tidak berada di bawah kendali kita. Inti dari buku tersebut adalah, “Ya, kerja keras itu penting. Ya, perencanaan dan strategi yang baik sangat penting jika anda ingin sukses. Namun itu semua hanyalah sebagian kecil dari apa yang berkontribusi terhadap kesuksesan. Agar anda dapat sukses, anda harus berada dalam situasi yang tepat. Anda harus berada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat. Jejaring sosial anda sangat berperan. Dan anda harus memiliki peluang. Semua hal ini harus sejalan atau anda tidak akan sukses.” Tahukah anda apa yang dikatakan Gladwell? Dia mengatakan bahwa sebagian besar bahan untuk kesuksesan berada di luar kendali kita. Banyak hal yang berkontribusi pada kesuksesan, dan kita tidak dapat mengendalikan sebagian besar dari mereka. Kesuksesan dan kegagalan kita bergantung pada banyak faktor di luar kendali kita. Itulah yang dikatakan oleh buku itu. Dan itu bahkan bukan Alkitab. Jadi Yakobus berkata, “Jika kamu percaya bahwa kamu memegang kendali, jika kamu percaya bahwa masa depanmu adalah apa pun yang kamu buat, kamu tidak berpikir dengan jernih. Kamu hidup dalam ilusi.” Dan Yakobus menyampaikan hal ini dengan beberapa cara.

Pertama, dia berkata, “Kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok.” Inilah dua kebenaran tentang hari esok: Tuhan tahu dan kita tidak tahu. Jika kita adalah orang Kristen, kita tahu apa yang akan terjadi dalam satu juta tahun. Kita akan memerintah bersama Kristus di langit dan bumi yang baru untuk selama-lamanya. Itu pasti. Tetapi kita tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Tuhan tidak memberitahukannya kepada kita. Tidak usah berbicara tentang besok. Mari kita bicara tentang sekarang. Saya tidak mencoba untuk menakut-nakuti anda, tetapi tidak ada jaminan bahwa kita akan selesai mendengarkan khotbah ini. Apa pun bisa terjadi pada kita semua dalam satu menit ke depan. Tidak peduli apakah kita berusia 60 tahun atau 16 tahun, hidup kita bisa berakhir kapan saja. Saya ingat hari ketika saya diberitahu bahwa saya menderita leukemia. Pada hari yang sama, saya melakukan lari pagi. Saya baik-baik saja. Saya sehat. Saya memeriksa darah pada siang hari tanpa mengharapkan kabar buruk. Dan saya masuk rumah sakit pada malam itu juga. Yang diperlukan hanyalah satu deringan telepon dari dokter saya. Adakah di antara kita yang bisa berkata, “Hal itu tidak akan pernah terjadi padaku. Aku telah merencanakan hidupku dengan sangat baik, jadi aku siap menghadapi masa depan”? Tidak. Tidak ada satupun dari kita yang dapat mengendalikan masa depan kita. Ruang gawat darurat penuh dengan orang-orang yang memiliki rencana untuk hari esok. Kuburan penuh dengan orang-orang yang memiliki rencana untuk masa depan.

Dan itulah alasan mengapa sering kali kita merasa frustrasi, benar? Itulah alasan mengapa kita kecewa. Kita merencanakan hidup kita seolah-olah kita memegang kendali. Kita membuat rencana seolah-olah kita tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun kehidupan mengatakan kepada kita berulang kali bahwa kita tidak tahu. Itulah mengapa terkadang saya merasa kasihan ketika melihat orang-orang marah kepada mereka yang bekerja di perusahaan penerbangan ketika pesawat mereka ditunda atau dibatalkan. Apakah anda pernah mengalaminya? Anda melihat orang-orang melampiaskan kemarahan mereka pada orang-orang yang tidak bisa berbuat apa-apa terhadap situasi tersebut. Maksud saya, ada badai yang membuat tidak aman untuk terbang. Saya bisa memahami rasa frustrasi karena pesawat tertunda, tetapi saya tidak pernah mengerti apa manfaatnya marah-marah terhadap orang-orang yang bekerja untuk perusahaan penerbangan. Mereka tidak bertanggung jawab atas badai dan petir di sekitar bandara dan mereka tidak bisa melalukan apa-apa akan hal tersebut. Tetapi tahukah anda mengapa orang-orang melampiaskan amarah mereka? Karena mereka mengira mereka memegang kendali. Mereka berpikir bahwa alam semesta berputar di sekitar mereka dan rencana mereka. Hanya perlu cuaca buruk untuk mengingatkan mereka bahwa mereka tidak memegang kendali. Hal ini juga berlaku untuk anda yang sering emosi sewaktu menyetir mobil di jalan.

Izinkan saya memberi tahu anda mengapa adalah baik untuk kita tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Karena jika kita tahu bahwa besok akan baik, kita akan menjadi ceroboh dan lancang. Tetapi jika kita tahu bahwa besok akan buruk, kita akan menjadi takut dan putus asa. Mengetahui tentang besok adalah musuh dari hikmat. Justru karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi besok, maka hal ini membantu kita untuk membuat rencana dengan penuh tanggung jawab. Hal ini membuat kita tetap rendah hati dan penuh harapan pada saat yang sama dalam perencanaan kita. Namun ini bukanlah sesuatu yang alami untuk kita. Pandangan alami kita adalah bahwa begitu kita merencanakan sesuatu, maka hal itu akan terjadi. Yakobus membangunkan kita dari ilusi kita dengan mengingatkan kita, “Tidak. Kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok.” Itu yang pertama.

Kedua, Yakobus berkata, “Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap.” Saya suka Yakobus. Dia berkata apa adanya. Yakobus berkata, “Kamu kira kamu penting? Kamu kira kamu adalah sesuatu? Kamu kira kamu memegang kendali? Pikirkan lagi. Kamu hanyalah uap yang ada di sini untuk sesaat dan kemudian lenyap.” Ini seperti ketika anda pergi ke luar pada pagi hari di musim dingin dan anda berbicara dengan seseorang, anda dapat melihat napas anda, kepulan uap yang ada di napas anda untuk sesaat, dan kemudian uap itu hilang. Yakobus berkata, “Itu kamu.” Ouch. Tidak ada yang lebih sebentar dan tidak ada yang lebih singkat dari itu. Inilah intinya. Ketika kita membuat rencana untuk hidup kita, ada bahaya untuk kita berpikir bahwa kita adalah pusat dari semuanya. Kita berpikir bahwa kita adalah tokoh utama dalam hidup kita. Sebuah komentari yang saya baca mengatakannya seperti ini. “Jika hidupmu adalah sebuah otobiografi, apa judul bukunya?” Beberapa bulan yang lalu, saya ngobrol dengan Josh Tie tentang refleksi yang saya tulis yang akan saya bagikan nantinya. Dan dia berkata, “Itu bisa menjadi sebuah buku nanti yang berjudul, ‘Memoar seorang pendeta: Melalui ujian dan penderitaan’.” Saya menjawab, “Terlalu indah. Judul yang lebih tepat, ‘Memoar seorang pendeta yang frustrasi’.” Jika hidup anda adalah sebuah otobiografi, apa judulnya? Memaksimalkan momen? Melawan segala rintangan? Dari miskin menjadi kaya? Dari mimpi menjadi kenyataan? Hidupku, aturanku? Itu adalah beberapa judul otobiografi terkenal yang saya temukan di internet. Inilah judul yang disarankan oleh Yakobus. Ketika anda mengumpulkan semua momen-momen dan pencapaian terbesar anda, inilah yang seharusnya menjadi judul otobiografi anda. Kabut. Uap. Sementara. Sekejap. Dan kemudian tambahkan tagline, “Ada sesaat lalu lenyap.”

Karena itulah kenyataan tentang setiap kita. Tidak peduli siapa kita, tidak peduli apa yang kita lakukan, kita akan dilupakan. Tidak ada yang kita lakukan yang akan membuat perbedaan yang menerus. Dalam terang sejarah manusia, tidak ada yang akan mengingat kita. Kita mungkin menjalani kehidupan yang sangat sukses selama 80 tahun dan kita mungkin mencapai banyak hal besar di tahun-tahun itu. Namun hanyalah masalah waktu sebelum orang-orang tidak lagi mengingat nama kita. Saat ini, jika anda adalah orang tua dan memiliki anak-anak kecil yang berlarian di ruang tamu anda, anda merasa bahwa anda memiliki waktu di sisi anda. Benar? Namun, keluarga anda adalah kabut. Mereka akan lenyap. Suatu hari akan tiba ketika salah satu dari anda akan melihat setiap orang di ruang tamu itu di dalam kubur. Dan tidak ada perencanaan strategis, kerja keras, dan manajemen risiko yang dapat menghentikannya. Tidak ada operasi plastik, sedot lemak, diet keto, dan olahraga apa pun yang dapat mencegahnya. Hidup kita hanyalah kabut yang hanya ada di sini untuk sesaat. Sekali lagi, Yakobus tidak menentang membuat rencana. Tetapi jika kita membuat rencana seolah-olah kita adalah seseorang yang penting dan rencana kita harus terjadi, kita membodohi diri kita sendiri. Lalu pertanyaannya adalah, bagaimana seharusnya kita membuat rencana?

 

 

Bagaimana membuat perencanaan

Yakobus 4:15 – Sebenarnya kamu harus berkata, “Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu.”

Saya akan mengajarkan anda satu kata Latin yang sangat terkenal. Kata itu adalah, ‘Deo Volente’, yang berarti ‘Jika Tuhan menghendaki’. Jadi, jika ada orang yang bertanya kepada anda besok apa yang anda pelajari di gereja hari ini, anda dapat berkata kepada mereka, ‘Deo Volente’. Yakobus berkata, “Daripada berkata aku akan melakukan ini dan itu besok dan ini dan itu akan terjadi,” katakanlah, “Jika Tuhan menghendakinya, aku akan hidup dan melakukan ini dan itu.” Namun, apa artinya mengatakan, ‘Jika Tuhan menghendaki’? Apakah itu berarti kita harus menggunakan kata ‘Jika Tuhan menghendaki’ setiap kali kita berbicara tentang rencana kita? “Kamu mau makan dimana setelah gereja?” “Aku mau makan di Lestari, Deo Volente.” “Apa yang akan kamu lakukan besok?” “Aku akan pergi kerja, Deo Volente.” “Kamu rencana liburan kemana?” “Aku rencana liburan ke Jepang, Deo Volente.” Jangan lakukan itu. Itu menjengkelkan. Menurut saya ada baiknya jika anda mengatakannya sesekali untuk mengingatkan diri anda sendiri bahwa anda tidak memegang kendali. Tetapi jika anda mengatakannya setiap saat, itu akan menjadi jargon Kristen yang menjengkelkan. Apa yang Yakobus lakukan adalah dia tidak memberikan kita formula untuk melindungi rencana kita. Bukan berarti ketika kita menambahkan ‘Deo Volente’ di akhir perencanaan kita, Tuhan akan memberikan stempel persetujuan-Nya pada rencana kita.

Saya menyukai apa yang ditulis oleh Sam Storms. “’Jika Tuhan menghendaki’ bukan hanya sebuah kalimat klise yang tidak tulus, murahan dan religius. Ini adalah sebuah cara pandang, sebuah teologi kehidupan, sebuah sikap yang tunduk dengan rendah hati pada rencana Allah yang berdaulat dan penuh tujuan.” Dengan kata lain, ini adalah sikap yang mengatakan, “Tuhan, ini rencanaku. Tetapi aku meletakkan rencanaku di dalam tangan-Mu. Aku tundukkan rencanaku pada kehendak-Mu. Karena Engkau tahu lebih baik dari yang aku tahu. Engkau tahu masa depan dan aku tidak. Dan Engkau dan rencana-Mu adalah yang terpenting. Jadi aku menyerahkan rencanaku dalam tujuan kedaulatan-Mu.” Ini adalah sikap ketergantungan. Kita mengakui keterbatasan kita dan kedaulatan Tuhan. Kita mengakui bahwa segala sesuatu yang kita lakukan, segala sesuatu yang kita capai, segala sesuatu yang kita raih dalam hidup, pada akhirnya berada di bawah kedaulatan Tuhan. Kita tidak memegang kendali; Tuhanlah yang memegang kendali. Kita tidak memegang kontrol; Tuhanlah yang memegang kontrol. Kita bukanlah penguasa hidup kita; Tuhanlah penguasa hidup kita. Kita harus mengingatkan diri kita sendiri bahwa dalam situasi apa pun yang kita hadapi, satu-satunya alasan kita berdiri di sana adalah karena kasih karunia Tuhan. Kita harus berkata pada diri kita sendiri, “Fakta bahwa aku masih hidup, fakta bahwa aku dapat berpikir, fakta bahwa aku bisa membuat rencana, itu hanya karena Tuhan bermurah hati kepadaku. Aku tidak dapat melakukan apa pun tanpa Tuhan. Aku sepenuhnya bergantung pada Tuhan dalam segala hal yang aku lakukan.” Ini perlu menjadi sikap kita ketika kita membuat rencana.

Tetapi kenyataan yang menyedihkan adalah ketika membuat rencana, kita dapat dengan cepat menjadi ateis. Semua rencana kita berputar di sekitar kita dan tidak melibatkan Tuhan. Kita membuat rencana seperti yang dilakukan oleh orang-orang bukan Kristen. Kalender kita terlihat sama persis dengan kalender mereka. Dan jika perencanaan kita tidak berbeda dengan orang-orang bukan Kristen, dimana iman kita kepada Yesus? Inilah maksud Yakobus. Ia bertanya kepada kita, “Apakah kalendermu sudah diselamatkan? Apakah perencanaanmu sudah diselamatkan?” Karena kalender kita akan memberi tahu kita apakah Tuhan ada di sana atau tidak. Apakah kita membuat rencana dengan mengingat Tuhan? Atau apakah kita merencanakan hidup kita tanpa menyertakan Tuhan?

Pastor Tony Evans memberikan sebuah ilustrasi yang bagus. Apakah ada yang suka menyusun puzzle? Saya dengar beberapa orang senang melakukannya sebagai penghilang stres. Hal itu tidak berlaku bagi saya. Saya tidak suka jigsaw puzzle, terutama yang memiliki beberapa ribu keping. Itu bukan penghilang stres; itu adalah pembuat stres bagi saya. Anak perempuan Pastor Tony sangat menyukai puzzle ketika ia masih kecil. Salah satu hadiah yang selalu dia inginkan saat Natal adalah sebuah puzzle. Semakin dia dewasa semakin rumit puzzle yang dia dapatkan sebagai hadiah. Dan pada suatu Natal, papanya memberi dia sebuah puzzle seribu keping. Dia membawa puzzle tersebut dengan penuh senyum ke kamar tidurnya untuk menyusun puzzle tersebut. Namun setelah beberapa saat, dia datang kepada papanya dengan kesal, ingin tahu mengapa papanya memberikannya puzzle itu. Papanya bertanya, “Apa masalahnya?” Dan jawaban anaknya klasik. Dia berkata, “Puzzle ini memiliki terlalu banyak keping.” Dan ini juga berlaku tentang hidup kita. Hidup kita memiliki terlalu banyak keping. Saya tidak peduli seberapa pintarnya kita, saya tidak peduli seberapa hati-hatinya kita, saya tidak peduli seberapa rajinnya kita, kita tidak bisa menyusunnya. Ada terlalu banyak faktor di luar kendali kita. Namun ada satu sosok yang bisa menyusun puzzle itu. Pembuat puzzle dapat menyusun puzzle tersebut. Dan pembuat puzzle meletakkan gambar puzzle yang sudah selesai untuk memberi tahu kita bahwa dia tahu cara menyusun puzzle tersebut. Dan peran kita adalah untuk berkonsultasi dengan pembuat puzzle. Dia tahu bagaimana cara menyusun semua keping-keping yang kita tidak ketahui. Perhatikan. Membuat rencana dalam hidup tanpa Tuhan adalah seperti menyusun puzzle jutaan keping tanpa gambaran lengkap dari puzzle tersebut. Itu tidak akan berhasil.

Jadi, bagaimana seharusnya kita membuat rencana? Apakah itu berarti kita tidak perlu membuat rencana dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan? Bukankah Tuhan itu berdaulat? Dia akan mengurus setiap bagian kecil dan menyusun puzzle itu. Tetapi bukan itu yang diajarkan oleh Yakobus dan Alkitab. Kita memiliki asumsi bahwa pilihan kita penting dan masa depan kita terbuka dan tidak pasti, atau segala sesuatu telah ditetapkan dan ditentukan, dan oleh karena itu tidak ada yang kita lakukan yang penting. Kita memilih salah satu dari dua hal ini. Sebagian dari kita berpikir, “Jika Tuhan berdaulat, jika segala sesuatu telah ditetapkan, lalu mengapa aku harus membuat rencana? Tidak masalah apakah aku membuat rencana atau tidak. Apa yang telah Tuhan tetapkan akan terjadi. Apa yang aku lakukan tidak penting.” Atau jika tidak, maka masa depan adalah apa pun yang kita buat. Masa depan adalah sebuah buku petualangan di mana kita bisa memutuskan apa yang akan terjadi besok. Kita berpikir bahwa kebenarannya adalah salah satu dari dua hal tersebut, tetapi Alkitab mengatakan dua-duanya benar. Kita benar-benar bebas dan sekaligus sudah ditentukan.

Saya berikan satu contoh dari Alkitab. Rasul Paulus sedang berada di atas kapal bersama para prajurit dan pelaut menuju ke Roma. Ada badai dahsyat yang menghantam kapal mereka. Badai itu sangat buruk sehingga mereka takut kehilangan nyawa mereka. Lalu Tuhan datang kepada Paulus melalui seorang malaikat dan berkata, “Paulus, jangan takut. Meskipun badai ini sangat buruk dan kamu mungkin akan kehilangan kapal, tidak ada seorang pun di dalam kapal ini yang akan mati. Kalian semua akan sampai di Roma.” Tuhan mengatakan hal itu kepada Paulus, dan kemudian Paulus memberitahukannya kepada semua orang di kapal. Namun keesokan harinya, di tengah badai ketika para pelaut berusaha meninggalkan kapal, Paulus tidak tinggal diam. Dia tidak berkata, “Tidak masalah jika para pelaut itu melarikan diri atau tidak. Itu bukan urusanku. Tuhan telah berjanji bahwa aku akan sampai ke Roma, jadi aku pasti akan sampai.” Tetapi Paulus berkata kepada nakhoda kapal, “Jika kamu membiarkan para pelaut ini meninggalkan kapal, kita akan mati.” Tunggu dulu. Bukankah Tuhan telah berjanji bahwa mereka akan sampai di Roma tanpa ada yang mati? Ya. Tetapi janji Tuhan mengandaikan bahwa mereka akan tetap bersama.

Kita sering berpikir, “Kalau mereka semua akan mati, berarti belum tentu mereka semua akan hidup. Tetapi jika sudah pasti mereka semua akan hidup, lalu mengapa harus peduli apa yang mereka lakukan?” Entah Tuhan berdaulat, atau kita yang bertanggung jawab. Tetapi Alkitab mengatakan bukan salah satu dari keduanya, tetapi keduanya. Alkitab mengajarkan bahwa Tuhan benar-benar memegang kendali dan bahwa pilihan kita benar-benar penting. Dan saya tahu apa yang anda pikirkan saat ini. “Yos, ini tidak masuk akal. Aku tidak bisa menggabungkan kedua hal ini.” Dan saya tidak menyalahkan anda. Adalah salah satu misteri dari Alkitab bagaimana kedua kebenaran ini dapat berjalan selaras. Tetapi saya akan memberi tahu anda mengapa sangat penting bagi kita untuk memegang kedua kebenaran ini bersama-sama. Kalau kita tidak memegang kedua kebenaran ini bersama-sama, kita tidak dapat membuat rencana dengan bijaksana. Kita bisa berkata, “Segala sesuatu sudah ditentukan. Tidak ada yang aku lakukan yang penting. Aku tidak bisa membuat perbedaan.” Dan kita menjadi pasif dan acuh tak acuh. Kita tidak peduli. Kita tidak membuat rencana. Atau kita berkata, “Aku bisa melakukannya. Aku bisa membuat masa depan seperti yang aku inginkan. Aku bisa menjadi apa pun yang aku inginkan.” Dan kita dipenuhi dengan kekhawatiran. Kita panik. Kita meleleh. Mengapa? Karena kita berpikir, “Semua tergantung keputusanku. Semua tergantung rencanaku. Semua tergantung strategiku,” dan kita tidak bisa menanggung beban itu. Kita menggantikan posisi Tuhan dan kita sama sekali tidak memenuhi syarat untuk pekerjaan itu.

Perhatikan. Jika kita ingin membuat rencana dengan bijaksana, kita perlu tahu bahwa pilihan kita penting dan memiliki konsekuensi. Namun pada akhirnya kita tidak memegang kendali atas apa yang terjadi; Tuhanlah yang memegang kendali. Artinya, kita memiliki semua insentif untuk merencanakan sebaik mungkin, tetapi di sisi lain, kita tidak panik karena segala sesuatu berada di bawah kendali kedaulatan Tuhan yang mengerjakan segala sesuatu untuk kebaikan. Hanya dengan cara itulah kita dapat membuat rencana dengan bijaksana. Jika kita tidak memegang kedua kebenaran ini bersama-sama, kita akan menjadi pasif atau kita akan lumpuh. Jika kita tidak benar-benar panik memikirkan bahwa kita memiliki kendali penuh atas hidup kita dan Tuhan tidak memiliki kendali atas hidup kita, maka kita tidak berpikir dengan jernih. Satu keputusan kecil yang salah dapat menghancurkan masa depan kita selamanya. Dan jika kita berpikir bahwa Tuhan memegang kendali mutlak dan oleh karena itu kita tidak perlu membuat rencana, kita tidak akan mencapai apa pun. Hidup kita akan berantakan. Tetapi Alkitab mengajarkan kepada kita kedaulatan Tuhan dan tanggung jawab manusia. Itulah yang memampukan kita untuk membuat rencana dengan baik dan tidak panik. Tidak ada yang lebih praktis daripada mempercayai bahwa kita bertanggung jawab penuh atas rencana kita dan Tuhan memegang kendali penuh pada saat yang sama.

 

 

Mengapa ini penting

Yakobus 4:16-17 – Tetapi sekarang kamu memegahkan diri dalam kecongkakanmu, dan semua kemegahan yang demikian adalah salah. Jadi, jika seseorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa.

Yakobus sangat jelas. Ketika kita tidak melibatkan Tuhan dalam perencanaan kita, kita bermegah dalam kesombongan kita. Semua kemegahan yang demikian adalah salah. Apa yang dimaksud dengan bermegah? Bermegah adalah bagaimana kita mempersiapkan diri kita, bagaimana kita mendapatkan kepercayaan diri. Dan setiap orang harus bermegah dalam sesuatu. Tidak ada yang namanya tidak bermegah. Setiap orang harus menemukan kepercayaan diri mereka dalam sesuatu. Yakobus berkata, “Ketika kamu meninggalkan Tuhan dalam perencanaanmu, tahukah kamu dimana kamu bermegah? Tahukah kamu di mana kamu menaruh kepercayaan dirimu? Kamu bermegah dalam dirimu sendiri. Kamu menaruh kepercayaan dirimu pada rencanamu. Kamu menaruh rasa amanmu pada kekuatan dan kemampuanmu untuk mengendalikan masa depan. Dan itu adalah salah.” Mengapa itu salah? Karena ketika kita menaruh kepercayaan pada diri kita sendiri, kita mengambil alih posisi Tuhan. Kita lupa bahwa kita bukanlah Tuhan. Kita mungkin tidak mengatakan bahwa kita adalah Tuhan dengan mulut kita, tetapi kita membuat rencana seolah-olah kita memiliki semua kekuatan dan pengetahuan Tuhan.

Apakah anda ingat apa yang terjadi pada Nebukadnezar, Raja Babel? Suatu hari ia berjalan keluar, dan ia melihat kerajaannya dan berkata, “Lihat semua yang telah aku bangun. Lihat betapa kuat dan hebatnya aku. Ini semua adalah perbuatan tanganku. Akulah the GOAT.” Tidak diragukan lagi Babel adalah kerajaan yang mengesankan. Tetapi Nebukadnezar berpikir bahwa tangannyalah yang membuat semua itu terjadi. Dia tidak mengakui Tuhan dan memuliakan Tuhan. Dia bermegah atas dirinya sendiri. Dan Tuhan berkata, “Kamu pikir kamu adalah the GOAT? Jadilah goat selama tujuh tahun.” Dan seketika itu juga, Nebukadnezar kehilangan kewarasannya dan makan rumput seperti kambing. Tuhan tidak akan mentolerir siapa pun yang ingin mengambil posisi-Nya.

Kemudian Yakobus melanjutkan dengan berkata, “Jadi, jika seseorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa.” Sering kali, kita hanya menganggap dosa sebagai dosa aktif, suatu tindakan pemberontakan terhadap apa yang Tuhan perintahkan untuk kita tidak lakukan. Hal ini disebut dosa komisi. Tetapi ada jenis dosa lain yang sering kita lupakan. Dosa ini disebut dosa omisi atau kelalaian. Dosa ini adalah dosa pasif, di mana kita memilih untuk tidak melakukan apa yang Tuhan perintahkan untuk kita lakukan. Dengan kata lain, kita tidak perlu melakukan sesuatu untuk berbuat dosa. Kita bisa berdosa dengan tidak melakukan apa pun tentang apa yang telah Tuhan perintahkan untuk kita lakukan. Jadi Yakobus berkata, “Jika kamu tahu bahwa kamu harus membuat rencana dengan mengingat Tuhan, jika kamu tahu bahwa kamu tidak memegang kendali, tetapi kamu membuat rencana seolah-olah kamu memegang kendali atas besok, jika kamu hanya menjalani hidupmu, membuat rencana, membuat jadwal, dan melupakan Tuhan, maka kamu berdosa.” Biar saya perjelas. Jika kita tahu bahwa kita perlu merencanakan hidup kita dengan Tuhan sebagai pusat tetapi kita tidak melakukannya, kita berdosa. Tuhan harus menjadi pusat dari semua rencana kita, bukan hanya dalam keadaan darurat. Jadi, membuat rencana itu baik. Membuat rencana itu penting. Tetapi kita tidak boleh melupakan Tuhan dalam perencanaan kita. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi besok, tetapi Tuhan sangat jelas tentang apa yang harus kita lakukan hari ini dalam ketaatan kepada-Nya. Dan untuk tidak melakukannya adalah dosa.

Dan ini sangat penting. Karena di sepanjang Alkitab, ada satu dosa yang terus mengganggu umat Tuhan. Ada satu dosa yang begitu besar, yang begitu alamiah bagi kita sehingga kita melakukannya hanya dengan mengikuti arus. Kita melakukannya hanya dengan tidak melakukan apa-apa. Tahukah anda dosa apa itu? Dosa melupakan Tuhan. Dan anda tahu ini. Tidak ada yang lebih buruk daripada dilupakan. Jika anda tidak tahu, gereja kita mengeluarkan khotbah setiap minggu di YouTube. Jadi semua khotbah saya ada di sana untuk ditonton dan dikomentari oleh orang-orang. Sesekali, saya menerima kritik yang buruk dari orang-orang yang saya tidak kenal. Beberapa menulis, “Ini khotbah yang sangat buruk. Pengkhotbah ini bodoh dan tidak tahu apa yang dia bicarakan. Tolong pelajari teksnya dulu sebelum berkhotbah lain kali. Sungguh khotbah yang sangat jelek… bla bla bla.” Kritik-kritik tersebut sangat kasar dan menyakitkan untuk dibaca. Tetapi tahukah anda apa yang lebih buruk dari kritik khotbah yang kasar? Tidak ada yang mendengarkan khotbah saya. “Zero like zero view.” Dilupakan jauh lebih buruk daripada dikritik. Karena ketika anda dilupakan, anda diperlakukan sebagai bukan siapa-siapa, tidak berarti. Anda diperlakukan sebagai kabut, uap. Tidak ada yang lebih buruk daripada dilupakan, terutama dilupakan oleh seseorang yang anda kasihi. Jika seseorang yang anda tidak kenal lupa mengundang anda ke pesta ulang tahunnya, anda tidak peduli. Tetapi jika sahabat anda lupa mengundang anda ke pesta ulang tahunnya, anda akan mencoret namanya dari daftar sahabat anda. Dan itulah yang kita lakukan kepada Tuhan ketika kita membuat rencana tanpa melibatkan Dia.

Dengarkan apa yang Tuhan katakan dalam Yeremia 2:32 – Dapatkah seorang dara melupakan perhiasannya, atau seorang pengantin perempuan melupakan ikat pinggangnya? Tetapi umat-Ku melupakan Aku, sejak waktu yang tidak terbilang lamanya. Saya jelaskan. Saya telah melakukan banyak pernikahan, dan saya tidak pernah melihat seorang pengantin wanita berjalan ke pelaminan dan tiba-tiba berkata, “Oh tidak, aku lupa merias wajahku,” dan dia kabur. Itu tidak pernah terjadi dan mungkin tidak akan pernah terjadi. Mengapa? Karena tidak ada yang lebih penting bagi pengantin wanita daripada tampil secantik mungkin di hari pernikahannya. Itulah mengapa pengantin wanita bangun jam 3 pagi untuk merias wajahnya. Tidak ada yang lebih penting daripada itu. Dan Tuhan berkata, “Kamu mengingat hal-hal yang penting bagimu. Kamu tidak akan melupakannya. Tetapi kamu tidak mengingat Aku. Aku tidak penting bagimu.” Dan ketika kita melupakan Tuhan, secara definisi, kita menggantikan posisi Tuhan. Kita mungkin berpikir bahwa melupakan Tuhan dalam perencanaan kita adalah hal yang kecil, tetapi sebenarnya tidak. Melupakan Tuhan adalah akar dari setiap dosa: kesombongan dan kemandirian. Kita ingin menjadi Tuhan bagi diri kita sendiri. Kita bertindak seolah-olah kita memiliki hak untuk membuat keputusan dalam hidup kita dan memiliki pengetahuan yang cukup untuk mengetahui apa yang sedang terjadi dan apa yang akan terjadi. Melupakan Tuhan berarti mengambil alih tempat Tuhan dalam hidup kita dan dunia. Tidak heran jika kita selalu khawatir. Tidak heran jika kita tidak bisa tidur di malam hari. Tidak heran jika kita selalu gelisah. Tahukah anda mengapa kita khawatir? Karena kita berasumsi bahwa kita tahu apa yang harus terjadi besok. Kita tahu apa yang harus terjadi dalam hidup kita. Kita tahu apa yang harus terjadi dalam hidup orang lain. Tetapi kita tidak tahu. Kita mengambil posisi Tuhan tanpa pengetahuan yang Tuhan miliki. Itu berarti kita melupakan Tuhan. Kekhawatiran mengasumsikan bahwa kita tahu padahal kita tidak tahu.

Jadi, itulah masalah kita. Masalah kita adalah kita selalu melupakan Tuhan. Dan sudah selayaknya untuk Tuhan melupakan kita ketika kita melupakan Dia. Tetapi bagaimana Yakobus dapat menyuruh kita untuk mengingat Tuhan, sementara kita layak untuk dilupakan oleh Tuhan? Inilah yang membuat saya tidak habis pikir. Perhatikan apa yang Tuhan katakan dalam Yesaya 49:15 – Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun dia melupakannya, Aku tidak akan melupakan engkau. Dapatkah anda membayangkan seorang ibu melupakan bayinya? Saya tidak bisa. Tetapi bahkan jika itu mungkin, bahkan jika seorang ibu dapat melupakan bayinya, Tuhan tidak akan pernah melupakan kita. Bahkan ketika kita melupakan Tuhan, Tuhan tidak pernah melupakan kita. Inilah ironi Injil: Kitalah yang membutuhkan Tuhan, namun kita melupakan-Nya setiap hari. Tuhan tidak membutuhkan kita, namun Dia tidak pernah sedetik pun melupakan kita. Tetapi bagaimana? Bagaimana Tuhan dapat mengingat kita jika kita melupakan Dia? Kita harus membaca Yakobus pasal 4 secara terbalik. Semua hal yang dikatakan Yakobus pasal 4 yang tidak boleh kita lakukan menyiratkan hal-hal yang seharusnya kita lakukan. Dan satu-satunya sosok yang telah melakukan semua hal yang harus kita lakukan adalah Yesus. Yesus adalah satu-satunya orang yang hidup dengan Tuhan sebagai pusat dari segala sesuatu yang ia lakukan. Yesus adalah satu-satunya pribadi yang menjalani hidup tanpa memegahkan diri. Yesus adalah satu-satunya orang yang menyerahkan seluruh rencananya kepada kehendak Tuhan. Yesus adalah satu-satunya sosok yang tidak pernah melupakan Tuhan.

Pada malam sebelum penyaliban, dia berdoa kepada Allah Bapa, “Bapa, jika mungkin, aku tidak mau disalib. Jika ada cara lain, jika ada rencana lain, lepaskan aku dari salib. Tetapi bukan kehendakku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.” Yesus menyerahkan nyawanya dan kehilangan kendali atas hidupnya. Dan di atas kayu salib, dia berteriak, “Allahku, Allahku, dimana Engkau? Mengapa Engkau melupakan aku?” Yesus adalah satu-satunya orang yang selalu mengingat Allah, namun ia dilupakan oleh Allah. Yesus diabaikan oleh orang yang paling berarti baginya. Mengapa? Karena dia mendapatkan pengabaian yang layak kita dapatkan. Yesus dilupakan untuk kita. Yesus kehilangan kendali atas hidupnya dan dilupakan di kayu salib agar kita dapat mengetahui bahwa kita tidak akan pernah dilupakan oleh Tuhan. Bahkan ketika hidup terlihat seperti di luar kendali, kita dapat memiliki keyakinan bahwa segala sesuatu ada dibawah kendali Tuhan. Ini adalah satu-satunya cara kita dapat membuat rencana dengan Tuhan sebagai pusat dari perencanaan kita, dan percaya bahwa Tuhan menjaga hari esok kita. Kita perlu memiliki jaminan bahwa Tuhan selalu mengingat kita. Dan karena Tuhan selalu mengingat kita, kita dapat terus mengingat-Nya dan membuat rencana dengan bijaksana. Mari kita berdoa.

 

 

Discussion questions:

 

  1. What struck you the most from the sermon?
  2. When you make plans, which danger are you more prone towards? Thinking that you know tomorrow or you are the centre of life? How?
  3. Why is it important to believe that God is absolutely in control and that your choice absolutely matter when you make plans? What happens when you hold only to either or?
  4. How does the gospel enable you to plan for tomorrow?
  5. List out some practical ways to make plans with God at the heart of it.
No Comments

Sorry, the comment form is closed at this time.