15 Dec Advancing Kingdom Culture Part 2
Apakah bentuk budaya keserupaan dalam Yesus?
Ada 4 hal, yaitu:
1. Identitas Baru
2. Pikiran Baru
3. Kebiasaan Baru
4. Perkataan Baru
4 hal ini telah mewakili bagaimana kita membangun budaya keserupaan dalam Yesus. Mari kita lihat
FILIPI 2:1-11:
- Jadi karena dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada kasih mesra dan belas kasihan,
- karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan,
- dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri;
- dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.
- Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus,
- yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan,
- melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.
- Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.
- Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama,
- supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi,
- dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa!
1. IDENTITAS BARU
ay. 1 = dalam Kristus.
Di dalam Kristus, kita adalah ciptaan baru.
Inilah identitas kita yang baru. Budaya lama telah berlalu digantikan dengan budaya baru di dalam Kristus. Salib Kristus merupakan pertukaran budaya lama ke budaya baru.
Kolose 3:12-13:
12. Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran.
13. Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian.
Sebelum menasihatkan apa yang harus dilakukan oleh setiap orang Kristen dalam komunitas mereka, Paulus lebih dahulu mengingatkan mereka tentang siapa mereka (ayat 12a).
Siapa kita di hadapan Allah seharusnya mempengaruhi apa yang kita lakukan di depan sesama.
Pendeknya, status mendahului dan menentukan perilaku.
Ada tiga sebutan yang Paulus singgung di sini.
Kita adalah orang-orang pilihan, Kita adalah orang-orang kudus, Kita adalah orang-orang yang dikasihi oleh Allah.
Tiga poin ini sangat berkaitan erat. Kita dipilih berdasarkan kasih-Nya supaya kita menjadi kudus.
EFESUS 1:4-5:
4. Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya.
5. Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya”.
Di antara tiga sebutan di Kolose 3:12a, penekanan tampaknya diletakkan pada yang terakhir (“yang dikasihi-Nya”).
Dari sisi konteks, topik pembicaraan memang lebih ke arah kasih.
Dari sisi urutan kata dalam kalimat, ēgapēmenoi mungkin sengaja diletakkan terakhir supaya langsung menyambung dengan nasihat untuk mengasihi satu sama lain di ayat 12b.
Paulus menasihati jemaat di Kolose untuk mengenakan belas kasihan, kemurahan, kerendahhatian, kelemahlembutan dan kesabaran.
Kata “mengenakan” (endynō) menyiratkan sebuah perubahan (3:9).
Sama seperti kita mengenakan pakaian yang baru setiap hari, demikian pula kita “mengenakan manusia baru yang terus-menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya” (3:10).
Proses menanggalkan (kehidupan lama) dan mengenakan (kehidupan baru) merupakan peristiwa yang sudah, sedang, dan akan terus-menerus terjadi dalam diri kita. Ini bagian dari proses pengudusan yang sudah dimulai oleh Kristus dan diaplikasikan oleh Roh Kudus dalam hidup kita.
2. PIKIRAN BARU
FILIPI 2:5:
Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus,
ay. 5 = pikiran dan perasaan di dalam Kristus.
Berpikir seperti Yesus berpikir dan merasa seperti Yesus merasakan.
Sehati sepikir (mind – nous), bukan berarti sesama orang Kristen tidak boleh berbeda pendapat; di bagian lain Paulus mengantisipasi persoalan beda pendapat, yang sangat realistis itu. Memang kita bisa berbeda pendapat, bisa berdebat, dsb., bahkan kedewasaan seseorang bisa dilihat dari kesanggupannya berargumentasi.
Ada orang yang tidak dewasa, tidak bisa berargumentasi, karena memang tidak punya argumentasi.
Ada orang yang tidak bisa berargumentasi karena malas berargumentasi, merasa capek karena jadi seperti adu otot.
Ada orang yang tidak bisa berargumentasi karena setiap kali adu argumentasi, harus dia yang menang, tidak bisa menerima pendapat orang lain; dan menurut Alkitab ini kekanak-kanakan.
Kalau kita dewasa, kita bisa berargumentasi, berbeda pendapat dsb., sepanjang kita punya sehati sepikir dalam pengertian ‘saya menjadikan Firman Tuhan sebagai standar, kalau saya salah, silakan dikoreksi, tapi kalau kamu yang salah, saya akan koreksi’.
Sehati sepikir dalam pengertian satu tujuan, sama-sama mau mempermuliakan Tuhan, sama-sama tidak mencari kepentingan sendiri, sama-sama tidak menonjolkan ego, tetapi tentang bagaimana kita mengenal jalan Tuhan, mengetahui kehendak Tuhan.
Waktu mau mengetahui kehendak Tuhan, kita bisa perbedaan pendapat, menurut yang seorang sepertinya begini, menurut yang lain begitu; dan di sini kita diskusi, beragumentasi, dsb.
Kemudian Paulus melanjutkan di ayat 3: “… dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia.”
Di sini dia mengatakan rahasia kegagalan yang membuat orang tidak bisa sehati sepikir, tidak dikuasai oleh satu kasih, jiwanya tidak satu, dan tidak satu tujuan, yaitu waktu orang mencari kepentingannya sendiri.
Bukan berarti kita tidak perlu urus kepentingan kita sendiri –setiap orang punya kepentingan sendiri dan tidak ada yang salah dengan itu—melainkan maksudnya orang yang hanya mencari kepentingannya sendiri, sebagaimana kita baca di ayat 4 (ini menjelaskan ayat 3), “dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri”.
Yang keliru bukanya mengurus kepentingan sendiri, tidak mungkin orang tidak mengurus kepentingannya sendiri –makan adalah kepentingan sendiri bukan kepentingan rame-rame, dan tidak ada yang salah dengan itu– yang salah adalah waktu orang hanya mengurusi kepentingannya sendiri.
Mencari kepentingan sendiri jangan cuma dikaitkan dengan kebutuhan fisikal –seperti makan– tapi kadang-kadang juga ada dalam wilayah kebutuhan jiwa, misalnya perasaan.
Ada orang yang selalu menomor-satukan perasaannya sendiri, tidak punya kedewasaan untuk peka terhadap perasaan orang lain, hanya peka pada perasaannya sendiri; itu orang yang mencari kepentingannya sendiri meski tidak berkaitan dengan material tapi jiwa.
Demikian juga waktu membicarakan “puji-pujian yang sia-sia”, ini bukan sesuatu yang material, ini lebih berkaitan dengan yang tidak kelihatan, suatu pengakuan.
Paulus melanjutkan, “Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama daripada dirinya sendiri.”
Kalimat ini sulit. Mungkin okelah saya tidak mencari puji-pujian yang sia-sia, saya bisa menyangkal bagian itu dengan minta kekuatan Tuhan, tapi menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri, itu sangat sulit. Dari kecil kita dididik bahwa diri kita lebih utama daripada orang lain, orang lain yang kalah dan kita yang menang, kita musti berkompetisi, yang maksudnya menyatakan ‘saya lebih utama daripada orang lain’.
Perasaan menang sebenarnya perasaan ‘saya lebih utama daripada yang lain’, ‘saya lebih signifikan daripada yang lain yang tidak terlalu penting itu’.
Bagaimana bisa menyadari hal ini? Menyadari hal tersebut, itu maksudnya apa?
Waktu seseorang menganggap yang lain lebih utama daripada dirinya, itu bukan dalam pengertian basa-basi, bukan dalam pengertian strategi supaya nanti akhirnya dia sendiri diangkat ke atas dan dianggap lebih utama; seperti yang pernah Yesus katakan “kalau kamu duduk di pesta, jangan cari kursi paling depan, carilah kursi yang paling belakang”, tapi ada orang cari kursi paling belakang supaya disuruh maju ke depan, itu berarti hatinya tetap mau duduk di depan.
3. KEBIASAAN BARU
FILIPI 2 :7-8:
7. melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.
8. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.
ay. 7-8 = mengosongkan diri, merendahkan diri, mengambil rupa seorang hamba sehingga ayat 3-4 terjadi.
Yesus itu yang paling utama daripada semuanya, daripada semua manusia. Tapi waktu Dia berada dalam dunia, Dia menganggap orang berdosa lebih utama daripada diri-Nya, oleh sebab itu itu Dia mati di atas kayu salib. Dia menyerahkan diri-Nya, karena Dia menganggap orang lain lebih utama daripada kesetaraan diri-Nya dengan Allah; Dia tidak menganggap kesetaraan itu sebagai sesuatu yang harus Dia pertahankan.
Dari perspektif Yesus, kita orang berdosa ini lebih utama. Yesus mempunyai kerendahan hati seperti itu, maka Dia melayani kita sampai mati di atas kayu salib.
Hendaklah setiap orang jangan memperhatikan kepentingan sendiri saja, tetapi kepentingan orang lain juga, seperti Kristus.
Kita percaya waktu Yesus berada dalam dunia, Dia juga makan, Dia juga ada kepentingan pribadi, Dia juga ada tanggung jawab keluarga kepada Maria dan Yusuf sebagai anak tukang kayu, dan Dia menyelesaikan tanggung jawab itu.
Yesus ada kepentingan sendiri, tidak mungkin tidak ada, karena jika tidak maka berarti Yesus tidak makan, tidak mandi, bau, dsb. Tetapi yang pasti, Dia tidak hanya memperhatikan kepentingan sendiri melainkan kepentingan orang lain juga, kepentingan Saudara dan saya.
Dia mati di atas kayu salib, itu jelas bukan kepentingan diri-Nya melainkan kepentingan Saudara dan saya. Mengapa?
Karena Dia mau mengajarkan kepada kita untuk berpikir “jangan menganggap diri lebih utama daripada yang lain, tetapi dengan rendah hati setiap orang menganggap orang lain lebih utama”.
Ini jangan dimengerti dalam pengertian minder, rendah diri; tidak ada hubungannya dengan itu. Kita orang Kristen harus punya dignitas, dan ini sama sekali tidak berbenturan dengan kerendahan hati.
Rendah hati pastinya bukan rendah diri. Rendah hati itu dinyatakan dengan melayani; kalau kita menganggap orang lain lebih utama daripada diri kita, maka berarti kita melayani mereka. Ini pemosisian yang aktif, bukan pasif, bukan statis –ya, memang dia lebih utama, dia di sana, saya di sini, saya rendah—tetapi kita melayani dia karena dia lebih utama daripada kita, seperti Kristus mengutamakan kita daripada mengutamakan diri-Nya sendiri. Inilah hidup berpadanan dengan Injil Kristus.
Kita Perjamuan Kudus, melihat bagaimana Kristus mengutamakan kita, bagaimana Kristus mati di atas kayu salib, melayani kita, memperhatikan kepentingan kita. Dan kita percaya Perjamuan Kudus bukan sekedar simbol kosong, tapi seperti perkataan Calvin, kita betul-betul mengalami persekutuan dengan Kristus secara misteri. Lalu the benefit of Christ ditransfer kepada jemaat-Nya, termasuk juga nasihat, penghiburan kasih, kasih mesra dan belas kasihan, dan termasuk juga pola pikir mengutamakan orang lain. Barulah kita bisa mengatakan, hidup kita ini berpadanan dengan Injil Kristus.
4. PERKATAAN BARU
FILIPI 2:11:
dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa!
ay. 11 = perkataan yang memuliakan Tuhan.
Untuk dikagumi, untuk dihormati, untuk mendapat kursi kehormatan, untuk dipandang bijaksana, untuk terkenal, untuk menjadi orang yang perkataannya selalu didengar, adalah hal-hal yang diidamkan orang. Namun tujuan orang Kristen bukanlah memamerkan diri, melainkan supaya mereka memuliakan Bapanya. Orang Kristen harus mengarahkan pandangan manusia bukan kepada dirinya, melainkan kepada Allah yang bekerja melalui dirinya.
KOLOSE 3:16-17 :
16. Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara kamu, sehingga kamu dengan segala hikmat mengajar dan menegur seorang akan yang lain dan sambil menyanyikan mazmur, dan puji-pujian dan nyanyian rohani, kamu mengucap syukur kepada Allah di dalam hatimu.
17. Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita.
Perkataan Kristus yang dimaksud tersebut adalah Firman Tuhan.
Tuhan menghendaki agar setiap orang percaya tidak hanya sekedar pernah mendengar, pernah membaca atau sekedar mengetahui tentang firman Tuhan, namun ditekankan lebih lanjut, bahwa firman itu dengan segala kekayaannya harus benar-benar tinggal dan menetap di dalam hati setiap orang percaya.
Kata “diam” (Yun.: enoikeo) memiliki makna bukan sekedar hafal dan tahu, namun mengandung arti tinggal bersama-sama dan memengaruhi hidup orang tersebut, sehingga hidup orang tersebut dapat memengaruhi orang di sekelilingnya sesuai dengan makna firman tersebut.
Bagaimana menyimpan Firman Perkataan Kristus dengan segala kekayaannya di dalam hati?
Paulus sekali lagi menyebutkan dengan segala hikmat.
Apakah Paulus memberikan usul yang nyata?
Paulus memakai tiga tindakan untuk menjelaskan kata dengan segala hikmat, yakni mencakup: pengajaran (teaching), teguran (admonishing) dan mazmur pujian (singing), dan ketiga tindakan ini semuanya tersambung dengan memuji Tuhan.
Di dalam pandangan Paulus, pengajaran dan teguran tidak hanya terbatas di dalam khotbah, sekolah minggu atau pembinaan orang percaya saja.
Sebenarnya mazmur (psalms), pujian-pujian (hymns) dan nyanyian rohani(spiritual songs) juga memiliki unsur pengajaran dan nasehat teguran, asal digunakan dengan penuh hikmat maka akan bisa membantu kita menyimpan Firman Perkataan Kristus dengan segala kekayaannya di dalam hati.
EFESUS 4:29:
Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia.
Bagaimana dengan budaya kekuasaan?
Budaya yang Yesus lakukan adalah melayani; bukan memerintah!
MARKUS 9:35:
Lalu Yesus duduk dan memanggil kedua belas murid itu. Kata-Nya kepada mereka: “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.”
LUKAS 22:27:
Sebab siapakah yang lebih besar: yang duduk makan, atau yang melayani? Bukankah dia yang duduk makan? Tetapi Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan.
Menjadi hamba apakah berarti mengambil profesi sebagai pembantu RT? Menjadi cleaning servis? Atau bagaimana?
Bagaimana seorang ayah yang menjadi hamba bagi anaknya?
Suami menjadi hamba bagi isterinya?
Pendeta dan Majelis menjadi hamba bagi gereja? Bagaimana?
Dalam bacaan kita (Fil.2:1-11) ada dua kata Yunani yang mempunyai implikasi yang bertolak belakang.
Pertama kata eritheian yang diterjemahkan sebagai “kepentingan sendiri” di ayat 3. Eritheian berasal dari kata Yunani erithos yang berarti ‘buruh harian.’
Dan kata kedua adalah doulos yang diterjemahkan “hamba atau budak” di ayat 7.
Kalau buruh harian bekerja untuk dapat upah diakhir pekerjaannya, sedangkan hamba tidak diberi upah.
Buruh harian punya hak, tetapi hamba tidak punya hak.
Inilah yang Kristus rindukan kita miliki. Hati hamba bukan hati buruh harian. Buruh harian bekerja karena ada kepentingannya sendiri yang ia cari.
Ia pada dasarnya bekerja untuk kepentingannya sendiri.
Kalau ia tidak mendapatkan haknya, ia akan marah dan protes.
Hamba berbeda 180 derajad.
Seorang hamba bekerja bukan supaya ia mendapatkan upah, tetapi karena ia adalah milik Tuannya.
Hidupnya ada di tangan tuannya dan mengabdi hanya untuk tuannya.
Yesus sebagai Anak Allah telah meneladankan:
I. TELADAN DALAM PENDERITAAN
1 PETRUS 2:21-22:
21. Sebab dapatkah disebut pujian, jika kamu menderita pukulan karena kamu berbuat dosa? Tetapi jika kamu berbuat baik dan karena itu kamu harus menderita, maka itu adalah kasih karunia pada Allah.
22. Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristuspun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya.
kita dipanggil untuk berjalan dalam jejak sang Anak yaitu jejak penderitaan. Jejak penderitaan bertujuan untuk: menang terhadap dosa, pemurnian dan kemuliaan.
II. TELADAN DALAM PENGORBANAN
1YOHANES 3:16:
Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kitapun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita.
Budaya kerajaan yang Tuhan harapkan menjadi gaya hidup kita adalah berkorban.
III. TELADAN DALAM KEHAMBAAN
MARKUS 10:45:
Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.
Sebagai pribadi yang sangat berkuasa, Yesus telah menunjukkan dan menggunakan kuasa kerajaanNya untuk melayani dengan jalan turun kebawah.
IV. TELADAN KESEDERHANAAN
Yohanes 4:34:
Kata Yesus kepada mereka: “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya.”
Yesus yang setara dengan Bapa tetapi Dia mengatakan bahwa tujuan hidupnya atau kesukaan nya adalah hanya untuk melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaan yang Bapa berikan kepadanya.
Disini kita bisa melihat bukti dimana gaya hidup Yesus telah mengalahkan kompleksitas dosa dan jalan manusiawi yang angkuh dan berpusat pada diri sendiri. Amin
Sorry, the comment form is closed at this time.