Makna hidup

Pengkhotbah 1:1-11

1 Inilah perkataan Pengkhotbah, anak Daud, raja di Yerusalem.

2 Kesia-siaan belaka, kata Pengkhotbah, kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia. 3 Apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah di bawah matahari? 4 Keturunan yang satu pergi dan keturunan yang lain datang, tetapi bumi tetap ada. 5 Matahari terbit, matahari terbenam, lalu terburu-buru menuju tempat ia terbit kembali. 6 Angin bertiup ke selatan, lalu berputar ke utara, terus-menerus ia berputar, dan dalam putarannya angin itu kembali. 7 Semua sungai mengalir ke laut, tetapi laut tidak juga menjadi penuh; ke mana sungai mengalir, ke situ sungai mengalir selalu. 8 Segala sesuatu menjemukan, sehingga tak terkatakan oleh manusia; mata tidak kenyang melihat, telinga tidak puas mendengar. 9 Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari. 10 Adakah sesuatu yang dapat dikatakan: ”Lihatlah, ini baru!”? Tetapi itu sudah ada dulu, lama sebelum kita ada. 11 Kenang-kenangan dari masa lampau tidak ada, dan dari masa depan yang masih akan datang pun tidak akan ada kenang-kenangan pada mereka yang hidup sesudahnya.

 

Kalau kita perhatikan pembacaan Alkitab ini dengan saksama, mungkin kita bertanya-tanya—ini bagian Alkitab yang aneh!

  • Nadanya terdengar sangat pesimis.
  • Dan seakan-akan, tidak memberikan jawaban.

 

Kitab Pengkhotbah, memang, tidak menawarkan solusi instan atau jawaban rohani yang klise.

 

Namun kitab Pengkhotbah ini sebenarnya sangat jujur, dan juga sangat relevan untuk zaman sekarang.

 

Identitas Pengkhotbah

 

Pengkhotbah 1:1 berkata:

“Inilah perkataan Pengkhotbah, anak Daud, raja di Yerusalem.” (Pengkhotbah 1:1, TB)

Kata “Pengkhotbah” ini sendiri berasal dari bahasa Ibrani Qohelet—yang artinya seseorang yang mengumpulkan, kemungkinan mengumpulkan orang-orang, seperti guru, pengajar, professor, ataupun seorang filsuf.

Siapakah identitas sang Pengkhotbah ini?

“Anak Daud, raja di Yerusalem” (v1) — banyak yang berkata bahwa dia adalah Salomo, anak raja Daud.

Fungsi Kitab Pengkhotbah

 

Kalau kitab Pengkhotbah tidak memberikan jawaban, lalu apa gunanya bagi kita?

Kitab Pengkhotbah justru sangat berguna karena tidak memberikan jawaban instan, namun mengajak kita untuk merenungkan dengan dalam makna dari hidup.

 

Sang Pengkhotbah menyingkapkan kelelahan hati manusia dalam pencarian akan makna hidup—dan dengan jujur bertanya:

 

“Untuk apa semua jerih payah hidup ini? Apakah ada maknanya?”

 

 

Jika kita perhatikan hidup ini, di mana pun kita melihat, ada suatu dorongan dalam kita untuk memiliki lebih.

 

Akibatnya,

  • Kecanduan judi semakin meningkat,
    • karena orang mengejar mimpi untuk cepat kaya.
  • Para profesional rela mengorbankan kesehatan dan kehidupan keluarga,
    • demi mengejar penghasilan yang lebih besar.
  • Banyak orang terjebak dalam siklus tanpa akhir untuk memiliki lebih…

Rumah yang lebih besar, mobil yang lebih baru, dan gaya hidup yang lebih mewah,

  • demi masa depan yang nyaman.

 

Sindrom “semakin besar, semakin baik” ini sudah merajalela.

  • Hampir setiap manusia tidak ada yang kebal terhadap tarikan dan tawaran materialisme.
  • Kita sering merasa kurang, dan berharap dengan memiliki “lebih banyak” maka akhirnya kita dapat mengisi kekosongan dalam hati kita.

 

Ribuan tahun yang lalu, sang Pengkhotbah (Qohelet) juga bergumul dengan persoalan yang sama:

 

Adakah sesuatu “di bawah matahari” ini yang benar-benar bisa memuaskan jiwa kita?

 

 

  1. Realitas Hidup “di bawah Matahari”
  2. Kesia-siaan Hidup “di bawah Matahari”
  3. Makna Hidup di Bawah Sang Anak

 

1. Realitas Hidup “di Bawah Matahari”

Mari kita baca:

“Kesia-siaan belaka, kata Pengkhotbah, kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia. Apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah di bawah matahari? (Pengkhotbah 1:2-3, TB)

Frase “di bawah matahari”  (English: “under the sun”) muncul 29 kali dalam kitab Pengkhotbah. Apa artinya?

  • Ini adalah cara Qohelet menjelaskan makna hidup dari perspektif manusia—hidup tanpa Allah yang kekal.

Dalam perspektif ini, Qohelet berkata:

Segala sesuatu adalah kesia-siaan—atau dalam bahasa Ibrani, “hevel” —yang artinya adalah “napas” atau “uap”.

Hidup seperti “uap” ini bukan berarti hidup ini tidak penting, namun hidup ini sangat singkat dan cepat berlalu.

Yakobus berkata:
“sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap.” (Yakobus 4:14, TB)

Beginilah realitas hidup di bawah matahari—Qohelet bertanya:

“Apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah di bawah matahari?” (ayat ke-3)

 

Dalam bahasa aslinya, kata “guna” di sini memiliki arti “keuntungan” atau “sisa”—sesuatu yang tersisa dalam bisnis adalah keuntungan (Anda jualan kue mendapatkan $500, dikurangi biaya membeli bahan-bahan $200, sisanya $300. Keuntungan inilah yang dimaksud oleh “guna”.)

Dengan kata lain Qohelet bertanya: “Apa sisa/untung pada semua jerih payah hidup?”

Jawabannya: Tidak ada!

 

Hidup manusia seperti uap.

Yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap.

 

Ulang Tahun ke-80

Dua minggu yang lalu, saya menghadiri pesta ulang tahun seorang teman yang ke-80. Suasana pesta sangat hangat, penuh canda dan nostalgia. Teman masa kecilnya hadir, begitu juga rekan-rekan kerja lamanya, dan mereka ber-nostalgia masa-masa indah dulu.

Namun, di tengah kehangatan itu, saya disadarkan bahwa semua kenangan indah itu pun, suatu hari akan pudar dan akhirnya terlupakan.

Hidup seperti uap—penuh dengan keindahan hanya untuk sesaat, lalu hilang dari pandangan.

Mungkin Anda masih muda dan merasa masih punya banyak waktu?

Tahukah saudara bahwa rata-rata harapan hidup orang Indonesia itu cuma 70 tahun? (Di Australia sekitar 80-tahunan).

Seperti teman saya itu, kalau kita masih dikasih waktu sama Tuhan lewat dari umur 80 tahun, itu adalah bonus.

Untuk mempermudah, bayangkan saja hidup itu seperti hari Senin sampai Minggu. Hari Senin itu bagi saudara yang berumur belasan tahun. Selasa, yang dua-puluhan. Rabu, tiga-puluhan. Dan sebagainya. Nah, sampai pada Minggu malam, pada umur 80 tahun, saudara akan dipanggil untuk bertemu dengan Sang Pencipta.

Saudara sudah hidup sampai hari apa?

Saya sendiri sudah berada di Kamis malam, sebentar lagi masuk hari Jumat.

Hidup ini seperti uap.

Segala prestasi yang kita capai, hubungan yang kita jalin, bahkan momen-momen yang paling indah sekalipun—semuanya hanya bersifat sementara jika hidup kita tidak tertambat pada sesuatu yang kekal.

Begitulah realitas hidup di bawah Matahari.

2. Kesia-siaan Hidup “di bawah Matahari”

Setelah Qohelet memperlihatkan betapa singkat dan rapuhnya hidup manusia, ia lalu mengajak kita untuk melihat realitas yang lebih dalam:

Bahwa hidup di bawah matahari—jika dilihat dari perspektif manusia—tidak hanya singkat, tetapi juga sia-sia.

 

Qohelet menunjukkan bahwa hidup di bawah matahari hanyalah siklus yang berulang.

 

Pengkhotbah 1:5-7 

1:5 Matahari terbit, matahari terbenam,

lalu terburu-buru menuju tempat ia terbit kembali.

1:6 Angin bertiup ke selatan,

lalu berputar ke utara, terus-menerus ia berputar, dan dalam putarannya angin itu kembali.

1:7 Semua sungai mengalir ke laut,

tetapi laut tidak juga menjadi penuh;

      ke mana sungai mengalir,

ke situ sungai mengalir selalu.

 

  • Ayat 5 – Matahari terbit dan tenggelam, hanya untuk terbit kembali.
  • Ayat 6 – Angin berputar ke sana kemari, tetapi tidak pernah sampai tujuan.
  • Ayat 7 – Air sungai terus mengalir ke laut, namun laut tidak pernah penuh.

 

Dunia terus berjalan, tetapi tidak pernah sampai tujuan. Sejarah terus berulang.

 

Four Thousand Weeks

Seorang penulis buku best-selling, Four Thousand Weeks, Oliver Burkeman, menyampaikan bahwa dunia modern menjanjikan kemungkinan tak terbatas—seolah-olah dengan manajemen waktu yang baik, kita bisa “memperoleh semua keinginan hidup”.

Namun kenyataannya, kita tidak pernah bisa.

Di dalam hidup, kita terus berusaha, tetapi tidak akan pernah puas.

 

Note: Judul bukunya, Four Thousand Weeks, adalah umur rata-rata manusia, 4000 minggu (atau 80 tahun).

 

Dalam hidup ini, tidak ada kesuksesan dan pencapaian, sebesar apa pun itu, yang bisa memberikan kepuasan hidup yang sesungguhnya.

 

Rumah Duka

Pernahkah Anda mendengar cerita yang terjadi di rumah duka?

 

Ada seorang yang sangat kaya raya meninggal. Di antara para pelayat, ada yang bertanya:

 

“Apa yang dia bawa bersamanya?”

Jawabannya: “Tidak ada.”

“Lalu apa yang dia tinggalkan?”

Jawabannya: “Semuanya.”

 

Tidak jauh dari situ, seorang janda miskin juga meninggal. Dan pertanyaan yang sama diajukan:

 

“Apa yang dia bawa bersamanya?”

“Tidak ada.”

“Apa yang dia tinggalkan?”

“Semuanya.”

 

Yesus pun mengajarkan hal yang sama dalam sebuah perumpamaan:

Lukas 12:16-20

12:16 Kemudian Ia mengatakan kepada mereka suatu perumpamaan, kata-Nya: “Ada seorang kaya, tanahnya berlimpah-limpah hasilnya. 12:17 Ia bertanya dalam hatinya: Apakah yang harus aku perbuat, sebab aku tidak mempunyai tempat di mana aku dapat menyimpan hasil tanahku. 12:18 Lalu katanya: Inilah yang akan aku perbuat; aku akan merombak lumbung-lumbungku dan aku akan mendirikan yang lebih besar dan aku akan menyimpan di dalamnya segala gandum dan barang-barangku. 12:19 Sesudah itu aku akan berkata kepada jiwaku: Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah! 12:20 Tetapi firman Allah kepadanya: Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti?

 

Tuhan Yesus memberi kita suatu peringatan bahwa hidup yang tidak “kaya di hadapan Allah” adalah hidup yang sia-sia—betapa pun suksesnya menurut dunia.

 

Apa harta yang sesungguhnya?

Seorang Puritan bernama Richard Baxter pernah berkata:

“If God be not enough for you, you will never have enough.”

 

“Jika Allah tidak cukup bagimu, maka apa pun yang kamu miliki tidak akan pernah cukup.”

 

Kalau Kristus bukan harta terbesar dalam hidup Anda, maka apa pun yang Anda capai dalam hidup tidak akan pernah memberi kepuasan yang bermakna.

 

Kalau segala milik Anda hanyalah dari perspektif “di bawah matahari”, maka semuanya itu—pekerjaan, kekayaan, relasi—adalah “hevel”, uap yang sebentar juga akan lenyap dan terlupakan.

 

Yang setiap kita butuhkan bukanlah lebih banyak harta ataupun pencapaian-pencapaian yang hebat, tapi yang kita butuhkan adalah hidup dari sudut pandang yang berbeda.

3. Makna Hidup ada di Bawah Sang Anak

“Under the Son”

Memang seluruh pengamatannya Qohelet dilakukan dari perspektif manusia, “di bawah matahari” (“under the sun”).

 

Tetapi, jika kita ingin menemukan makna hidup yang sejati, kita harus mengalihkan pandangan kita dari “under the sun” (di bawah matahari) kepada “under the Son” (di bawah Sang Anak), yaitu kepada Yesus Kristus, Sang Anak Allah.

 

Hanya hidup di dalam Yesus yang akan bebas dari siklus kesia-siaan dan memiliki makna yang sesungguhnya.

 

Kekosongan yang Tidak Bisa Diisi

 

Blaise Pascal, seorang filsuf dan ilmuwan, pernah berkata:

“There is a God-shaped vacuum in the heart of every person which cannot be filled by any created thing, but only by God the Creator, made known through Jesus.”

 

“Di dalam hati setiap manusia ada kekosongan yang tidak bisa diisi oleh apa pun, tetapi hanya oleh Allah sendiri, yang ada dalam Yesus Kristus.”

 

Masalah kita bukanlah sekadar bahwa kita belum menemukan yang benar dan tepat, tetapi hati kita mencari makna hidup di tempat yang salah.

 

Sadarlah, bahwa tidak ada satupun yang dapat memberi kepuasan kekal, selain Kristus Yesus.

 

Sebelum Tim Keller meninggal dunia ia sempat memberi nasehat kepada jemaat-jemaat di gerejanya:

Apa yang Anda cari dalam hidup ini?

Apakah kebesaran namamu?

Jangan cari itu.

Jangan jadikan keberhasilanmu sebagai identitasmu.

Lupakan diri-mu.

Lupakan reputasi-mu.

Lakukan apa yang kamu bisa dalam hidup ini meninggikan nama Allah.

 

Kerinduan Manusia adalah untuk selalu dikenang.

Kita ingin hidup kita berarti, kita ingin meninggalkan yang namanya “legacy”.

 

Tetapi Qohelet berkata bahwa kita akan dilupakan:

“Kenang-kenangan dari masa lampau tidak ada, dan dari masa depan yang masih akan datangpun tidak akan ada kenang-kenangan pada mereka yang hidup sesudahnya.”

(Pengkhotbah 1:11)

 

Bahkan orang-orang pintar dan tokoh-tokoh besar pun akan dilupakan.

Jika mereka saja dapat dilupakan, bagaimana dengan kita semua?

 

Orang kaya memberi sumbangan agar gedung-gedung yang besar dan penting dinamai dengan nama mereka. Mereka kira dengan demikian mereka akan diingat. Mungkin benar, tapi suatu hari nanti bangunan itu akan menjadi tua dan dirobohkan, dan diganti dengan bangunan yang lebih baru.

 

Penulis menulis buku agar karya mereka diingat. Tapi buku-buku itu akan digantikan dan dilupakan juga.

 

Qohelet berpendapat bahwa semua jerih payah Anda, semua itu akan berlalu—dan akhirnya dilupakan.

Intinya, semua usaha yang dilakukan manusia “under the sun” (di bawah Matahari) itu sia-sia, akan lenyap seperti uap.

 

Sadar atau tidak, setiap manusia merindukan sesuatu yang bermakna, yang bersifat kekal—tetapi sering kali kita mencari hal itu di tempat yang salah.

 

Dosa Menjauhkan Kita dari Sang Anak

 

Mengapa bisa demikian?

Sebab dosa telah membuat kita mencari makna hidup di bawah matahari, dan dengan kekuatan sendiri, dan telah lupa bahwa kita diciptakan untuk hidup di bawah Sang Anak Allah, Yesus Kristus.

 

Hanya di dalam Yesus saja kita dapat mendapatkan makna hidup sejati, namun karena dosa, kita mencari makna di tempat lain:

Lewat harta, tahta, hubungan relasi, kenyamanan, maupun kesenangan.

 

Sebenarnya,

kita tidak perlu memiliki lebih (lebih baru, lebih hebat, lebih besar, dsbnya).

Yang kita butuh adalah Sang Penebus!

 

Kabar Baik—Sang Anak yang Turun ke Bawah Matahari

Pengkhotbah hanya membawa kita untuk merenung dengan dalam, namun tidak memberikan kita jawaban. Tetapi jawaban itu ada di dalam Firman Tuhan, tepatnya di dalam Kabar Baik Injil.

 

Inilah Kabar Baik Injil:

Sang Anak Allah telah datang dan hidup di bawah matahari.

Ia merasakan keletihan, kesia-siaan, dan penderitaan di dunia ini—namun tanpa dosa.

Di atas kayu salib, Ia menanggung kesia-siaan hidup yang paling puncak—kematian secara fisik.

Tiga hari kemudian, Ia bangkit, dan oleh karena kebangkitan-Nya, Ia membuka jalan bagi semua orang yang hidup di dalam Dia untuk dapat memperoleh makna sejati dalam hidup.

Kabar Baik Injil tidak hanya menawarkan jalan keluar dari segala kesia-siaan, tetapi memberikan makna kekekalan dalam hidup.

Apakah ada “keuntungan” / “gunanya” dalam hidup kita?

Jawabannya: Pasti!

 

Rasul Paulus berkata:

Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia. (1 Korintus 15:58)

 

Karena Kristus, semua menjadi berarti.

Kasih yang kita berikan…

Pengorbanan yang kita lakukan…

Penderitaan yang kita alami…

Bahkan jerih payah kita sehari-hari….

 

Semua yang kita lakukan dalam ketaatan kepada Tuhan—semua itu memiliki makna dan bobot kekekalan.

 

Karena-Nya, hidup saudara yang tadinya tampak sia-sia, kini memiliki makna kekal.

Karena-Nya, setiap hal kecil yang kita lakukan dengan kasih, menjadi berharga di hadapan Allah.

 

Jadi pertanyaannya bukan lagi:

“Apa keuntungan dari semua jerih payah hidup ini?”

Melainkan:

“Bagaimana saya bisa habiskan sisa hidup ini hanya bagi Yesus?”

 

Jika pagi ini saudara disadari bahwa selama ini saudara hidup hanya mengejar angin, dan saudara ingin hidup di bawah Sang Anak, datanglah kepada-Nya.

Sebab hanya Yesus yang dapat memberi kelegaan dan makna yang kekal.

 

Mungkin ada dari saudara yang sudah sangat capai, letih, dan putus asa…

Saudara tidak tahu harus bagaimana lagi… Saudara sudah mau give up…

 

Firman Tuhan berkata:

Datanglah kepada Yesus.

Sebab hanya di dalam Yesus, hati saudara yang gelisah akan menemukan kelegaan dan kepuasan.

 

Yesus berkata:

Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan. (Matius 11:28-30)

 

Mari kita berdoa.

No Comments

Sorry, the comment form is closed at this time.