Addicted to Success

By Cathline Augustiani

 

Kita hidup di era yang memaksa kita untuk terus berkompetisi dan mencapai hal-hal baru. Kita suka akan perasaan ‘euphoria’, yaitu ketika kita sukses dengan start-up business yang sudah kita rintis dan impikan; atau ketika evaluasi kerja akhir tahun kita memuaskan sehingga boss memberikan bonus yang besar; atau ketika kita lulus sebagai lulusan terbaik dan membanggakan orangtua; atau ketika akhirnya kita mendapatkan pekerjaan yang sudah lama kita nantikan dan menduduki posisi tertentu.

 

Masalahnya adalah kita tidak bisa terus berada di atas, menjadi yang terhebat di bidang kita selamanya. Kita mungkin memenangkan proyek baru yang lebih besar dari sebelumnya, tapi tiba-tiba timbul pertanyaan, “koq yang kali ini gak membawa kepuasan seperti yang sebelumnya?”

 

The high does not seem quite so high anymore.

 

Inilah yang kita sebut dengan achievement addict. Kesuksesan telah membentuk identitas diri. Kegagalan menjadi kata yang sangat mengerikan dan menyebabkan depresi bagi banyak orang.

 

Di tahun 1998, sesaat sebelum terjadi ‘dot-com crash’ yang mengakibatkan krisis ekonomi dunia, Helen Rubin menulis artikel Success Excess di majalah Fast Company:

 

“Dari segala obsesi kita, kita paling sering menipu diri kita tentang kesuksesan.

 

Kita berkata bahwa:

Kesuksesan dan uang akan membuat kita merasa aman; Kesuksesan dan kekuasaan akan membuat kita menjadi orang penting; Kesuksesan dan ketenaran akan membuat kita bahagia.

 

Mari kita lihat kebenarannya:

Orang terpintar dan tersukses menggunakan segala yang mereka miliki untuk mendapatkan uang, kekuasaan dan ketenaran, tetapi pada akhirnya menghancurkan diri mereka sendiri.

Mungkin mereka tidak suka dengan apa yang mereka lihat ketika akhirnya mereka mencapai itu semua.”

 

Keinginan hati manusia adalah untuk melakukan “sesuatu yang besar” untuk mendapatkan kepuasan dan arti hidup.

 

Kita hanya bisa mendapatkan itu ketika kita tahu apa yang Tuhan Yesus sudah lakukan untuk kita, maka kita akan mengerti mengapa keselamatan dari Tuhan Yesus tidak menuntut kita untuk melakukan “sesuatu yang besar”? Karena Yesus sudah melakukannya.

 

Keselamatan dari Tuhan Yesus tidak dicapai lewat kekuatan, tapi lewat kerendahan hati, penyerahan diri, pengorbanan dan kematian.

 

Ini adalah salah satu pesan terindah di Alkitab dari 1 Korintus 1:27-29 “Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti, supaya jangan ada seorang manusiapun yang memegahkan diri di hadapan Allah.”

 

Inilah cara Tuhan kita melakukannya!

 

No Comments

Sorry, the comment form is closed at this time.