Hati yang mengampuni

Matius 18:21-35

Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus: “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?” Yesus berkata kepadanya: “Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali. Sebab hal Kerajaan Sorga seumpama seorang raja yang hendak mengadakan perhitungan dengan hamba-hambanya. Setelah ia mulai mengadakan perhitungan itu, dihadapkanlah kepadanya seorang yang berhutang sepuluh ribu talenta. Tetapi karena orang itu tidak mampu melunaskan hutangnya, raja itu memerintahkan supaya ia dijual beserta anak isterinya dan segala miliknya untuk pembayar hutangnya. Maka sujudlah hamba itu menyembah dia, katanya: Sabarlah dahulu, segala hutangku akan kulunaskan. Lalu tergeraklah hati raja itu oleh belas kasihan akan hamba itu, sehingga ia membebaskannya dan menghapuskan hutangnya. Tetapi ketika hamba itu keluar, ia bertemu dengan seorang hamba lain yang berhutang seratus dinar kepadanya. Ia menangkap dan mencekik kawannya itu, katanya: Bayar hutangmu! Maka sujudlah kawannya itu dan memohon kepadanya: Sabarlah dahulu, hutangku itu akan kulunaskan. Tetapi ia menolak dan menyerahkan kawannya itu ke dalam penjara sampai dilunaskannya hutangnya. Melihat itu kawan-kawannya yang lain sangat sedih lalu menyampaikan segala yang terjadi kepada tuan mereka. Raja itu menyuruh memanggil orang itu dan berkata kepadanya: Hai hamba yang jahat, seluruh hutangmu telah kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku. Bukankah engkaupun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau? Maka marahlah tuannya itu dan menyerahkannya kepada algojo-algojo, sampai ia melunaskan seluruh hutangnya. Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu.”

Mari saya mulai dengan kutipan bagus dari CS Lewis. “Mengampuni adalah sebuah kata yang indah, sampai kita memiliki sesuatu untuk kita ampuni.” Bukankah ini benar? Sebagai umat Kristus, kita tahu bahwa kita harus mengampuni orang lain. Tetapi mengampuni itu sangat sulit. Seringkali, rasanya tidak mungkin. Rasanya tidak alami. Apa yang terasa alami adalah untuk mengulang kesalahan yang telah dilakukan orang lain kepada kita dan merencanakan pembalasan. Apalagi jika yang menyakiti kita adalah seseorang yang dekat dengan kita. Mungkin teman dekat anda mengakhiri persahabatan dengan anda karena kesalahpahaman. Mungkin pacar atau pasangan anda berselingkuh dan meninggalkan anda. Mungkin anda mengalami pelecehan seksual. Mungkin anda disiksa secara fisik oleh orang tua anda. Mungkin papa atau mama anda pergi meninggalkan keluarga anda. Mungkin anda difitnah oleh seseorang yang anda percayai. Mungkin dokter memberikan diagnosa yang salah, dan itu menghancurkan hidup anda. Mungkin rekan bisnis anda berbohong dan mencuri uang dari anda. Anda mungkin memiliki banyak alasan yang sah untuk menjadi pahit.

Kesalahan tersebut mungkin terjadi bertahun-tahun yang lalu, tetapi anda dapat mengingatnya seolah-olah baru terjadi kemarin. Dan kemudian seseorang berkata kepada anda, “Kamu harus mengampuni orang yang menyakiti kamu.” Apa reaksi anda? Mungkin niat orang tersebut baik, tetapi anda rasanya ingin memukul orang tersebut. Benar? “Apa? Apakah kamu ga salah? Membiarkan dia lolos begitu saja? Apa kamu tidak tahu apa yang dia sudah lakukan terhadapku? Aku tahu Alkitab mengajarkan bahwa kita harus mengampuni orang lain. Tetapi itu karena Tuhan tidak tahu ceritaku. Jika Tuhan tahu ceritaku, pasti Tuhan akan menempatkan tanda bintang di sebelah perintah untuk mengampuni dan menulis namaku di bagian bawah Alkitab sebagai pengecualian.” Bagi banyak dari kita, mengampuni mungkin merupakan hal tersulit yang kita lakukan dalam hidup. Rasanya sangat tidak adil dan tidak masuk akal. Mengampuni bertentangan dengan keinginan daging kita. Terutama, ketika orang yang bersalah tidak merasa bersalah. Mengapa kita harus mengampuni dia? Dan tentu saja, kita tahu lebih baik daripada menyakiti orang tersebut secara langsung. Kita mungkin tidak melakukannya dalam perbuatan, tetapi kita terus-menerus menyiksa orang itu dalam imajinasi kita.

Namun mengampuni sangatlah penting dalam kehidupan Kekristenan. Dan ini yang harus kita mengerti tentang setiap umat Kristus. Setiap umat Kristus adalah orang berdosa yang dibenarkan. Ini berarti bahwa setiap umat Kristus telah dibenarkan oleh Tuhan, tetapi setiap umat Kristus juga masih bergumul dengan dosa. Dan ketika seorang berdosa yang dibenarkan bertemu dengan seorang berdosa yang dibenarkan, mereka pasti akan saling menyakiti. Mereka akan saling mengecewakan. Dan mereka perlu belajar untuk saling mengampuni. Dalam perumpamaan ini, Yesus memperingatkan kita bahwa jika kita tidak mengampuni orang yang telah menyakiti kita dari hati kita, kita berada di dalam masalah besar. Sikap tidak mengampuni terhadap kesalahan orang lain menempatkan kita di dalam penjara. Dan satu-satunya cara untuk keluar dari penjara adalah dengan melepaskan pengampunan. Dan apa yang Yesus inginkan dari kita bukanlah pengampunan yang dangkal. Karena menurut saya, kita ahli dalam mengecilkan kepahitan di dalam diri kita. Kita mengatakan kita mengampuni orang lain dengan mulut kita, tetapi jauh di lubuk hati kita masih menyimpan dendam terhadap orang tersebut. Kita meyakinkan diri kita sendiri bahwa dendam yang kita pegang tidak mempengaruhi orang-orang di sekitar kita. Tetapi kita salah. Kita mungkin tidak bisa melihatnya tetapi orang-orang di sekitar kita bisa melihatnya dengan jelas. Kita berada di dalam penjara kepahitan. Dan sampai kita mengampuni orang yang menyakiti kita dari hati kita, kita terjebak di dalam penjara tersebut. Jadi, pertanyaannya adalah, bagaimana kita bisa bebas dari penjara kepahitan? Perumpamaan ini menjawab pertanyaan itu bagi kita.

Saya akan memberikan anda konteks perumpamaan ini terlebih dahulu. Yesus menceritakan perumpamaan ini untuk menjawab pertanyaan Petrus. Yesus baru saja memberi tahu para murid betapa pentingnya untuk mengejar rekonsiliasi. Dan menanggapi perkataan Yesus, Petrus mengajukan pertanyaan ini. Matius 18:21 – Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus: “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?” Perhatikan dengan seksama. Konteks pertanyaan yang diajukan bukanlah pengampunan bagi orang asing. Ini adalah pengampunan untuk seorang saudara. Dengan kata lain, Petrus bertanya tentang orang-orang di gereja. Berapa kali kita harus mengampuni orang-orang di gereja yang berdosa terhadap kita? Berapa kali kita harus mengampuni saudara dan saudari kita di dalam Kristus? Dan ini sangat penting. Karena jauh lebih mudah untuk mengampuni orang yang tidak dekat dengan kita. Tetapi jauh lebih sulit untuk mengampuni orang yang dekat dengan kita, terutama keluarga kita di dalam Kristus. Lebih sulit untuk mengampuni sesama orang Kristen daripada orang bukan Kristen. Mengapa? Karena mereka seharusnya tahu lebih baik, dan kita memiliki expetasi yang lebih terhadap mereka. Jadi, berapa kali kita harus mengampuni saudara dan saudari kita di gereja? Petrus berpikir, “Tentu, pengampunan itu penting. Tetapi pasti ada batas untuk mengampuni. Jadi, apa batasnya?” Dan Petrus memiliki angka. Tujuh kali. Dan ini Petrus sangat bermurah hati. Karena ajaran populer pada jaman itu adalah bahwa mereka hanya harus mengampuni orang lain sebanyak tiga kali. Dan pada pelanggaran keempat, mereka dapat melepaskan neraka terhadap sang pelaku. Jadi, Petrus memberikan lebih dari dua kali lipat kuota jaman itu. Tujuh kali. Bayangkan jika kita disakiti oleh orang yang sama di gereja. Berapa kali kita akan mengampuni orang tersebut sebelum kita menyerah? Menurut saya, kita tidak akan mencapai tujuh kali. Petrus juga berpikir sama. Tentunya, mengampuni orang yang sama tujuh kali sudah lebih dari cukup.

Yesus menjawab, Matius 18:22 – Yesus berkata kepadanya: “Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.” Bahasa aslinya ambigu. Tujuh puluh kali tujuh kali juga dapat diterjemahkan sebagai tujuh puluh tujuh kali. Jadi, apa yang Yesus katakan? Apakah dia mengatakan bahwa kita harus membuat daftar berapa kali orang itu menyakiti kita dan ketika dia mencapai angka 78 atau 491, maka kita boleh melepaskan neraka terhadap orang tersebut? Tidak. Yesus tidak sedang mengajarkan matematika. Maksud Yesus adalah, “Petrus, berhenti menghitung. Tidak ada batas dalam mengampuni karena pengampunan adalah gaya hidup umat Kristus. Kamu tidak akan pernah melampaui pengampunan.” Karena kenyataannya adalah setiap umat Kristus juga adalah orang yang berdosa. Ini berarti bahwa kita akan terus-menerus berdosa terhadap orang lain, dan orang lain juga akan terus-menerus berdosa terhadap kita. Kita tidak akan pernah bisa lepas dari kebutuhan untuk memberikan pengampunan dan menerima pengampunan. Ini kabar buruknya. Tetapi kabar baiknya adalah bahwa kita telah diampuni jauh lebih banyak daripada kita mengampuni. Dan untuk menegaskan perkataannya, Yesus memberikan perumpamaan ini. Inti dari perumpamaan ini sederhana. Tidak ada batas dalam mengampuni saudara dan saudari kita di dalam Kristus karena begitulah kita telah diampuni oleh Tuhan. Sebagaimana Tuhan mengampuni kita terus-menerus, demikian pula kita harus mengampuni orang lain terus-menerus.

Tiga hal yang dapat kita pelajari dari perumpamaan ini: Mengapa kita harus mengampuni; Bagaimana kita mengampuni; Kekuatan untuk mengampuni.

Mengapa kita harus mengampuni

Matius 18:23-27 – Sebab hal Kerajaan Sorga seumpama seorang raja yang hendak mengadakan perhitungan dengan hamba-hambanya. Setelah ia mulai mengadakan perhitungan itu, dihadapkanlah kepadanya seorang yang berhutang sepuluh ribu talenta. Tetapi karena orang itu tidak mampu melunaskan hutangnya, raja itu memerintahkan supaya ia dijual beserta anak isterinya dan segala miliknya untuk pembayar hutangnya. Maka sujudlah hamba itu menyembah dia, katanya: Sabarlah dahulu, segala hutangku akan kulunaskan. Lalu tergeraklah hati raja itu oleh belas kasihan akan hamba itu, sehingga ia membebaskannya dan menghapuskan hutangnya.

Perumpamaannya seperti ini. Suatu hari, seorang raja memanggil semua hambanya untuk mendapatkan laporan keuangan tentang kerajaannya. Dan raja menemukan bahwa ada uang yang hilang, dan dia memanggil hamba yang bertanggung jawab. Dan jumlah uang yang hilang adalah 10,000 talenta. Dan ini adalah jumlah yang sangat besar. 1 talenta sama dengan 6000 dinar. Satu dinar adalah upah kerja satu hari. Mari kita letakkan dalam konteks kita hari ini. Katakanlah anda menghasilkan $50,000 setahun. Ini berarti anda mendapatkan $137 per hari. Dan satu talenta sama dengan 6000 hari kerja, yaitu $822,000. Dan dikalikan 10,000, kita mendapatkan $8,2 miliar. Bagaimana perhitungan saya? Saya bukan seorang akuntan tetapi menurut saya hitungan saya benar. Jumlah uang yang hilang sangat besar. Kita tidak tahu alasan di baliknya. Apakah hamba ini mencuri uangnya? Atau dia menyalahgunakannya? Atau investasi yang gagal? Kita tidak tahu. Dan tidak peduli seberapa kaya seorang raja, hutang sejumlah ini dapat membawa kerajaannya ke dalam masalah besar.

Jadi, raja menuntut hamba tersebut untuk membayar hutang. Tetapi hamba ini tidak bisa karena jumlahnya terlalu besar. Ini adalah hutang yang tidak dapat dibayar. Raja kemudian memerintahkan untuk menjual hamba, keluarganya dan semua yang dia miliki. Dan kita harus mengerti bahwa hutang ini begitu besar sehingga menjual hamba ini, keluarganya, dan hartanya tidak cukup untuk membayar hutang. Ini hanyalah hukuman untuk pelanggaran. Ini tidak bisa menggantikan jumlah uang yang telah hilang. Tetapi kemudian hamba tersebut berlutut dan memohon belas kasihan kepada raja. Dia berkata, “Rajaku, bersabarlah denganku, dan aku akan melunaskan semua hutangku.” Kita tahu ini adalah permohonan orang yang putus asa. Dia meminta raja untuk bersabar dan memberinya waktu untuk melunasi semua hutangnya. Tetapi dia tidak mungkin bisa membayar hutangnya. Dia bangkrut dan jumlah hutang terlalu besar. Tetapi dia siap menjanjikan apa pun untuk menyelamatkan dirinya dan keluarganya. Dan saya suka apa yang terjadi selanjutnya. Hati raja tergerak oleh belas kasihan, dan dia mengampuni hutang sang hamba dan membebaskannya. Wow. Ini adalah murni anugerah. Raja memberikan sang hamba lebih dari apa yang dia minta. Hamba ini meminta waktu, raja memberikan dia kebebasan. Dan tidak ada syarat yang melekat. Tidak ada pembayaran bulanan yang harus dilakukan. Raja membebaskannya dari hutangnya yang begitu besar dengan begitu saja. Yang diinginkan sang hamba adalah raja yang sabar. Apa yang dia dapatkan adalah raja yang penuh belas kasihan. Apa perasaan anda jika anda dibebaskan dari hutang sebesar $8,2 miliar? Anda akan berjalan di awan. Beban berat di pundak anda akan hilang. Anda akan melompat-lompat dengan gembira. Dan ini membuat apa yang terjadi selanjutnya sangat mengganggu.

Matius 18:28-30 – Tetapi ketika hamba itu keluar, ia bertemu dengan seorang hamba lain yang berhutang seratus dinar kepadanya. Ia menangkap dan mencekik kawannya itu, katanya: Bayar hutangmu! Maka sujudlah kawannya itu dan memohon kepadanya: Sabarlah dahulu, hutangku itu akan kulunaskan. Tetapi ia menolak dan menyerahkan kawannya itu ke dalam penjara sampai dilunaskannya hutangnya.

Tepat setelah dia baru saja diampuni dari hutangnya sebesar $8,2 miliar, hamba ini bertemu dengan seorang hamba lain yang berhutang kepadanya. Hamba tersebut berhutang 100 dinar, yang merupakan upah kerja 100 hari. Jika kita menghitungnya, ini setara dengan $13,700. Bisakah kita setuju bahwa ini bukan hutang yang kecil? Ini adalah hutang yang cukup besar. Saya akan khawatir jika seseorang di gereja berhutang sebanyak ini kepada saya dan tidak membayar saya kembali. Jadi, wajar saja jika dia khawatir. Tetapi hutang ini dapat dilunasi seiring waktu. Hutang ini bukan hutang yang tidak mungkin untuk dibayar. Dan hamba yang pertama baru saja dihapus hutangnya yang sebesar $8,2 miliar. Tetapi ketika dia bertemu dengan temannya yang berhutang kepada dia, dia menangkapnya, dan dia mencekiknya. Dia menjadi sangat kejam hanya karena 100 dinar. Dan lihat apa yang terjadi selanjutnya. Temannya ini berlutut dan memohon belas kasihan. Dia berkata, “Bersabarlah dengan aku, dan aku akan melunasi hutangku.” Apakah ini terdengar tidak asing? Ini adalah perkataan yang sama yang digunakan hamba yang pertama kepada raja. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa hutang ini bisa dibayar dengan seiringnya waktu. Jadi, apa yang hamba ini akan lakukan dengan temannya yang berhutang kepadanya? Kita akan berpikir bahwa dia akan dengan senang hati menghapuskan hutang tersebut, benar? Karena walaupun 100 dinar itu banyak, itu tidak sebanding dengan 10,000 talenta. Adalah logis bagi dia untuk menghapus hutang temannya. Tetapi bukannya menunjukkan belas kasihan, dia malah melakukan yang sebaliknya. Dia memasukkan temannya itu ke dalam penjara sampai dia melunasi hutangnya. Dan kita berkata, “Ini tidak rasional. Ini tidak masuk akal. Apa artinya 100 dinar dibandingkan dengan 10,000 talenta? Hamba ini seharusnya menunjukkan belas kasihan.” Tetapi perhatikan. Inilah bagaimana Tuhan memandang kita ketika kita menolak untuk mengampuni orang lain. Mari kita lanjutkan.

Matius 18:31-34 – Melihat itu kawan-kawannya yang lain sangat sedih lalu menyampaikan segala yang terjadi kepada tuan mereka. Raja itu menyuruh memanggil orang itu dan berkata kepadanya: Hai hamba yang jahat, seluruh hutangmu telah kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku. Bukankah engkaupun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau? Maka marahlah tuannya itu dan menyerahkannya kepada algojo-algojo, sampai ia melunaskan seluruh hutangnya.

Hamba-hamba yang lain melihat apa yang terjadi dan mereka sangat sedih dengan apa yang mereka saksikan. Jadi, mereka memberi tahu raja tentang apa yang terjadi. Dan ketika raja mendengar, dia marah. Dia memanggil hamba itu dan berkata, “Kamu hamba yang jahat. Bukankah aku sudah mengampunimu dari semua hutangmu? Berapa banyak hutangmu terhadapku? $8,2 miliar. Dan kamu meminta aku untuk memberikan kamu waktu untuk melunasi hutang. Tetapi aku tahu bahwa sama sekali tidak mungkin bagi kamu untuk dapat melunasi hutang. Jumlah hutang terlalu besar. Dan aku menunjukkan belas kasihan kepada kamu. Kamu memohon waktu, aku memberi kamu kebebasan. Dan bukankah seharusnya kamu mengasihani temanmu yang berhutang kepada kamu $13,700? Hutang itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan hutangmu terhadapku. Tetapi apa yang kamu lakukan? Kamu menolak untuk menunjukkan belas kasihan dan memasukkan dia ke dalam penjara. Apakah tidak salah? Orang yang diampuni seharusnya bertindak seperti orang yang diampuni. Kamu harus mengampuni orang lain. Dan karena kamu tidak mengampuni, aku akan memenjarakan kamu sampai kamu membayar setiap sen dari $8,2 miliar hutangmu terhadapku.” Dengan kata lain, hamba ini tidak akan pernah keluar dari penjara. Dia terkurung di dalam penjara sampai mati karena dia menolak untuk mengampuni.

Dan perhatikan ayat 35. Inilah kunci dari perumpamaan. Yesus biasanya tidak menjelaskan arti dari perumpamaan yang dia berikan. Tetapi kali ini, dia melakukannya. Saya rasa arti perumpamaan ini sudah jelas. Tetapi Yesus ingin memastikan bahwa kita tidak memiliki alasan untuk tidak memahami maksud dari perumpamaan ini. Matius 18:35 – “Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu.” Ouch! Ini adalah peringatan yang keras dari Yesus. Ingat bahwa dia sedang berbicara dengan murid-muridnya. Yesus tidak berbicara dengan orang asing. Dia sedang berbicara dengan umat Kristus. Dia sedang berbicara dengan kita. Umat Kristus adalah mereka yang sudah menerima pengampunan dari Tuhan. Dan mereka yang telah diampuni oleh Tuhan harus mengampuni orang lain. Dan jika kita tidak mengampuni saudara dan saudari kita di dalam Kristus dengan segenap hati kita, maka Tuhan tidak akan mengampuni kita juga. “Tunggu sebentar Yos. Apakah kamu mengatakan bahwa kita dapat kehilangan pengampunan kita, dengan kata lain, keselamatan kita?” Tidak, saya tidak mengatakan itu. Perjanjian Baru jelas bahwa kita tidak dapat kehilangan keselamatan kita. Tetapi ini adalah peringatan keras untuk membangunkan banyak umat Kristus.

Dengarkan. Ada hubungan yang tidak dapat dipatahkan antara pengampunan Tuhan terhadap kita dan pengampunan kita terhadap orang lain. Jika kita mengatakan bahwa kita telah menerima pengampunan dari Tuhan, tetapi kita tidak dapat mengampuni orang lain dari hati kita, ada sesuatu yang salah. Jika kita mengatakan dengan mulut kita bahwa kita mengampuni mereka, tetapi kita menyimpan dendam terhadap mereka di dalam hati kita, ada sesuatu yang salah. Saya akan mengatakannya dengan cara yang lain. Kesulitan kita dalam mengampuni orang lain adalah cerminan dari kesulitan kita dalam menerima pengampunan Tuhan. Jika kita tidak bisa mengampuni orang lain, ini menunjukkan bahwa kita belum diampuni oleh Tuhan. Tidak ada umat Kristus yang tidak bisa mengampuni. Jika kita memiliki pengampunan Tuhan di dalam kita, maka pengampunan akan mengalir keluar dari kita. Mengampuni orang lain adalah salah satu cara paling pasti untuk mengetahui bahwa kita telah diampuni oleh Tuhan. Inilah sebabnya mengapa pengampunan sangatlah penting dalam kehidupan umat Kristus. Yang membawa kita ke poin berikutnya. Bagaimana cara kita mengampuni? Kita bisa mendapatkan jawabannya dari melihat apa yang raja lakukan.

Bagaimana cara kita mengampuni?

Matius 18:27 – Lalu tergeraklah hati raja itu oleh belas kasihan akan hamba itu, sehingga ia membebaskannya dan menghapuskan hutangnya.

Ada tiga langkah untuk mengampuni. Dan saya meminjam hikmat Timothy Keller untuk bagian ini. Pertama, menunjukkan belas kasihan. Kata belas kasihan berarti untuk menemukan kesamaan dan bukan perbedaan dengan orang yang menyakiti kita. Ini bukan berarti kita mengecilkan rasa sakit yang kita alami. Malah sebaliknya. Kita mengakui bahwa kerusakan telah terjadi dalam hubungan. Kita tidak menutup mata untuk hal tersebut. Karena yang terjadi jika kita mengecilkan rasa sakit adalah kita mengampuni dengan mulut kita tetapi tidak dengan hati kita. Dan pengampunan semacam ini dangkal dan tidak berguna. Tetapi untuk menunjukkan belas kasihan berarti mengakui rasa sakit yang kita alami tetapi memilih untuk melihat yang terbaik daripada yang terburuk dari orang yang menyakiti kita. Biasanya ketika seseorang berbuat salah kepada kita, reaksi alami kita adalah membuat karikatur mereka di dalam pikiran kita. Saya jelaskan. Jika anda pernah digambar oleh seorang kartunis, anda tahu bahwa mereka ahli membuat orang terlihat konyol. Jadi, apa yang mereka lakukan untuk membuat seseorang terlihat konyol adalah mereka mengambil satu bagian dari wajah dan membuatnya menjadi besar. Mereka melebih-lebihkan fitur tertentu. Jadi, jika anda memiliki mata yang besar, mereka membuatnya menjadi super besar. Jika anda memiliki hidung yang lebar, mereka membuatnya menjadi ekstra lebar. Dan ini terlihat konyol. Setiap kali seseorang berbuat salah kepada kita, inilah yang kita lakukan di dalam pikiran kita. Kita mengambil kesalahan yang mereka lakukan kepada kita, dan kita membuatnya besar. Kita melebih-lebihkannya. Dan kita membuat hal-hal lain tentang mereka menjadi kecil untuk menekankan pada apa yang salah. Kita melihat mereka sebagai karikatur.

Jadi inilah yang kita lakukan. Katakanlah kita sedang menyetir dan seseorang memotong jalur kita dengan sembarangan. Apa yang kita katakan? “Goblok. Dasar supi bego. Matamu dimana?” Benar? Apa yang kita lakukan adalah kita membuat pelanggaran menjadi besar dan melihat orang itu hanya sebagai orang yang goblok. Kita mengabaikan hal-hal lain tentang orang tersebut. Di mata kita, dia hanyalah supir yang bodoh. Tetapi katakanlah kita memotong jalur orang lain dengan sembarangan. Apa yang terjadi? Ini berbeda. Kita berkata, “Aku mungkin memotong jalurmu, tetapi aku tidak goblok. Aku bukan supir yang bodoh. Ada alasan yang sah dan dapat dijelaskan mengapa aku tiba-tiba memotong jalurmu. Istriku sedang kesakitan mau melahirkan dan dia menjambak rambutku. Ini tidak sesederhana yang kamu lihat.” Apakah anda melihat apa yang terjadi? Kita berpikir tentang diri kita sendiri dalam cahaya yang terbaik. Kita melihat diri kita sebagai sosok yang utuh dengan masalah yang nyata dan keadaan yang menantang. Tetapi tidak dengan orang lain. Kita melihat mereka dalam cahaya yang terburuk dan kita menghajar mereka. Kita melihat mereka hanya sebagai orang yang goblok. Kita ingin orang lain melihat kita dalam cahaya terbaik, tetapi kita melihat orang lain dalam cahaya terburuk. Tetapi untuk menunjukkan belas kasihan berarti untuk dengan sengaja mengatakan, “Aku tidak berbeda dari orang itu. Ada kemungkinan bahwa aku bisa melakukan hal yang sama dalam situasi mereka. Aku tidak lebih baik dari mereka.” Dan ini penting. Kita hanya bisa terus marah terhadap seseorang jika kita berpikir dan merasa bahwa kita lebih baik dari mereka. Tetapi saat kita menyamakan posisi, kita kehilangan banyak alasan untuk tetap marah kepada mereka. Ini langkah pertama.

Kedua, menghapus hutang. Inilah sesuatu yang harus kita pahami tentang pengampunan. Tidak ada yang namanya pengampunan yang gratis. Kerusakan telah terjadi. Seseorang harus membayar. Dalam perumpamaan ini, hamba yang pertama berhutang $8,2 miliar. Dan ketika raja menghapus hutangnya, ini tidak gratis. Raja yang harus membayarnya. Raja menanggung sendiri hutang tersebut. Ketika seseorang berbuat salah kepada kita, ini menciptakan hutang emosional rasa sakit. Kita merasakannya. Dan seseorang harus membayar. Dan kita memiliki dua pilihan. Pertama, kita membuat orang lain membayar. Dan kita ahli dalam hal ini. Bagaimana kita membuat mereka membayar? Kita membuat mereka membayar dengan menghina mereka. Kita berlaku kejam terhadap mereka. Kita berhenti berteman dengan mereka. Kita dengan sengaja melakukan hal-hal yang kita tahu akan menyakiti mereka. Atau mungkin kita melakukannya secara tidak langsung. Bagaimana? Kita membawa nama dan cerita mereka sebagai permintaan bantuan doa kepada orang lain. Kita memberi tahu orang lain, “Aku sebenarnya tidak ingin mengatakan ini, tetapi aku tidak ingin kamu terluka. Jadi kamu lebih baik hati-hati dengan orang ini.” Kita memberi tahu banyak orang tentang apa yang dilakukan orang tersebut kepada kita, dan kita menempatkan diri kita sebagai korban. Kita merusak reputasi mereka di belakang mereka. Atau mungkin kita berkata kepada orang yang menyakiti kita, “Aku tidak akan membalas dendam kepada kamu karena aku lebih baik dari kamu. Aku tidak mau turun ke levelmu.” Kita dapat menemukan ratusan cara kreatif untuk menyakiti orang lain secara langsung ataupun tidak langsung. Intinya, ketika kita menyakiti orang yang menyakiti kita, itu membuat kita merasa lebih baik. Bahkan, kita tidak harus menjadi orang yang melakukannya. Jika kita melihat orang lain menyakiti mereka, kita sudah merasa lebih baik. Kita mengatakan bahwa mereka mendapatkan apa yang pantas mereka dapatkan. Apakah saya benar?

Tetapi di sinilah ironinya. Dengan merasa lebih baik, kita sebenarnya menjadi lebih buruk. Apa yang terjadi adalah semakin kita menikmati melihat penderitaan mereka, semakin kita terpenjara dalam kepahitan. Saya telah melihat hal ini terjadi berulang kali. Saya berikan sebuah contoh. Katakanlah ada seorang ayah yang menolak untuk mendisiplinkan anak-anaknya. Tidak peduli seberapa liar perilaku anak-anaknya, dia menolak untuk bertindak keras kepada mereka. Anak-anaknya berlaku sangat buruk. Mereka membuat kekacauan di mana-mana dan ayah mereka tidak melakukan apa-apa. Yang dia katakan hanyalah, “Anak-anak, jangan begitu. Ayo berhenti. Jangan lakukan itu lagi lain kali.” Dan ini membuat kita penasaran. Dan kita bertanya kepada sang ayah, “Mengapa kamu tidak pernah mendisiplinkan anak-anakmu? Apakah kamu tidak khawatir tentang masa depan mereka?” Dan dia melihat kita dan berkata, “Aku tidak akan pernah mendisiplinkan anak-anakku. Aku tidak akan membuat kesalahan yang sama seperti papaku. Dia selalu mendisiplinkan aku. Dia memukul aku dengan keras setiap kali aku melakukan kesalahan dan dia tidak pernah membiarkan aku melakukan apa pun yang aku inginkan. Aku tidak akan melakukan itu kepada anak-anakku.” Apakah anda melihat apa yang terjadi? Dalam pikirannya, dia menghajar ayahnya. Ayahnya tidak membiarkan dia melakukan apa pun yang dia inginkan sehingga dia membiarkan anak-anaknya melakukan apa pun yang mereka inginkan. Dia berpikir bahwa dia bebas. Tetapi sebenarnya tidak. Dia berada di dalam penjara kepahitan. Dia tidak berpikir jernih. Dia tidak bertanya, “Apa yang baik untuk anak-anakku? Bagaimana aku bisa membesarkan mereka dengan baik?” Yang dia pedulikan hanyalah untuk tidak mengulangi kesalahan yang dilakukan ayahnya. Ini adalah pembalasan dia terhadap ayahnya. Tetapi dengan melakukan itu, dia menyakiti anak-anaknya. Kita harus mengerti ini. Semakin kita membuat orang lain membayar hutang, semakin kita terpenjara di dalam kepahitan. Kepuasan singkat melihat mereka menderita membuat kita menjadi lebih buruk.

Jadi, apa pilihan lainnya? Seseorang harus membayar hutangnya. Dan kita mungkin tidak menyukai pilihan ini, tetapi ini adalah satu-satunya pilihan yang membebaskan kita dari penjara. Pilihan kedua adalah kita menyerap hutang itu sendiri. Dan ijinkan saya memberitahu anda, ini menyakitkan. Ini sangat tidak nyaman. Saya beri contoh. Beberapa tahun yang lalu, saya melakukan sesuatu kesalahan yang fatal. Saat itu, kita masih menyewa University Hall di UTS untuk kebaktian hari Minggu, dan kita harus mengemasi semua perlengkapan gereja setiap Minggu malam. Dan suatu kali, saya secara tidak sengaja menyenggol gitar Kimmy dan gitar itu jatuh. Dan pada saat itu, gitar itu masih cukup baru. Saya merasa sangat bersalah dan saya segera meminta maaf kepada dia. Dan Kimmy menjawab, “Ga apa-apa ko. Jangan khawatir tentang itu.” Dia sangat berbelas kasihan terhadap saya. Tetapi bertahun-tahun kemudian dia memberi tahu saya bahwa itu sebenarnya karena dia tidak punya pilihan. Saya adalah pendetanya dan dia merasa tidak enak jika dia membuat saya bertanggung jawab dan mengganti rugi. Ini berkat menjadi seorang pendeta. Saya menerima pengampunan gratis. Tetapi ini tidak gratis. Kimmy yang membayarnya. Dia menyerap hutang dan melakukan pembayaran sendiri. Dan saya yakin itu bukan pembayaran satu kali. Saya yakin kejadian saya menjatuhkan gitarnya menghantui dia untuk sementara waktu. Tetapi setiap kali dia menginginkan pembalasan, dia sendiri yang membayar uang muka. Dan ini menyakitkan. Setiap kali dia ingin menyalahkan saya, dia menahan lidahnya. Ini sakit. Setiap kali dia ingin membuat saya hancur berkeping-keping di pikirannya, dia mengingatkan dirinya tentang hal-hal baik yang telah saya lakukan. Ini sakit. Setiap kali dia ingin bersikap dingin kepada saya, dia memilih untuk mengasihi saya. Ini sakit. Mengapa ini menyakitkan? Karena dia sedang melakukan pembayaran. Dan dengan berjalannya waktu, dia tidak perlu lagi melakukan pembayaran. Dia bebas. Dia keluar dari penjara. Hutang sudah lunas. Mungkin butuh waktu berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bertahun-tahun, tergantung berapa besar kesalahan yang terjadi. Tetapi saat kita terus memberikan pengampunan, kita dibebaskan. Mengampuni itu menyakitkan. Pengampunan adalah bentuk penderitaan. Tetapi itu membebaskan kita dari penjara kepahitan. Ketika kita membuat orang lain membayar, kita terjebak di dalam penjara. Tetapi ketika kita menyerap hutang, kita bebas.

Ketiga, membebaskan yang bersalah. Dan ini mungkin langkah yang paling kontroversial. Karena rasanya sangat tidak adil untuk membebaskan orang yang menyakiti kita. Ini terasa tidak benar. Setuju? Dan inilah yang sering dikatakan orang. “Aku perlu mengejar keadilan agar mereka belajar dan tidak melakukan kesalahan yang sama kepada orang lain. Aku tidak ingin orang lain mengalami apa yang aku alami.” Dan ada kebenaran dalam perkataan tersebut. Tetapi dengarkan baik-baik. Saya tidak mengatakan bahwa kita tidak boleh mengejar keadilan. Ada saatnya kita harus menghadapi dosa orang lain dan menegur mereka. Alkitab jelas tentang ini. Tetapi inilah yang harus kita pahami. Kalau kita tidak melakukan langkah pertama dan langkah kedua dengan baik, kalau kita tidak meluangkan waktu untuk menunjukkan belas kasihan dan membayar hutang emosional dalam diri kita sendiri, sampai kita bisa membebaskan yang bersalah, tidak akan ada keadilan. Yang ada hanyalah pembalasan. Karena jika kita tidak membebaskan mereka, yang kita inginkan bukanlah apa yang baik untuk mereka. Yang kita inginkan adalah pembayaran. Bisakah anda melihatnya? Ketika kita mengejar keadilan tanpa terlebih dahulu membebaskan mereka, kita melakukannya untuk kepentingan diri kita sendiri dan bukan untuk kepentingan mereka. Kita dapat menutupinya dengan banya cara. Kita dapat mengatakan bahwa kita melakukannya demi orang lain, tetapi kita tahu bahwa bukan itu alasan kita melakukannya. Kita ingin menyakiti mereka. Kita ingin membuat mereka membayar hutang. Dan mari saya beri tahu anda. Orang yang bersalah kepada kita biasanya dapat membedakannya. Mereka tahu apakah kita mengejar keadilan demi kepentingan diri kita sendiri atau demi kebaikan mereka. Dan inilah ironinya. Sampai kita meluangkan waktu untuk memahami orang yang menyakiti kita, sampai kita sendiri yang menanggung hutang, sampai kita bisa melepaskan orang itu, tidak akan ada keadilan. Yang ada hanyalah pembalasan. Hanya ketika kita telah mengampuni orang tersebut dari hati, kita dapat mengejar keadilan bila dibutuhkan.

Jadi, inilah tiga langkah untuk mengampuni. Belas kasihan, hapus hutang, dan bebaskan. Apakah anda melihat betapa mudahnya untuk mengampuni? Saya yakin anda semua ingin segera menerapkannya. Mari kita tutup ibadah dan lakukan itu semua. Tidak, ini sama sekali tidak mudah. Bahkan, anda seharusnya bertanya, “Bagaimana mungkin aku bisa mengampuni? Ini mustahil.” Tetapi ini mungkin ketika kita telah mengalami belas kasihan dari Raja yang sebenarnya. Mari kita lihat ke poin terakhir saya.

Kekuatan untuk mengampuni

Dapatkan ini dengan benar. Hanya Injil yang dapat memampukan kita untuk mengampuni dari hati kita. Tidak ada solusi lain. Semua solusi lain dangkal. Solusi lain tidak berurusan dengan hati. Tetapi apa tentang Injil yang memampukan kita untuk mengampuni dari hati? Ada dua hal yang harus kita pertimbangkan. Pertama, pertimbangkan hutang kita terhadap Tuhan. Ketika Yesus menceritakan perumpamaan ini, dia tidak ingin kita mengidentifikasi diri kita terutama dengan raja. Raja dalam perumpamaan ini adalah gambaran Tuhan. Siapakah kita dalam perumpamaan ini? Kita adalah hamba yang berhutang 10,000 talenta. Kita adalah orang yang sangat membutuhkan belas kasihan. Dan inilah kebenaran tentang kita semua. Kita berhutang 10,000 talenta terhadap Tuhan karena dosa kita. Kita memiliki hutang yang tidak dapat dibayar. Sama sekali tidak mungkin bagi kita untuk bisa membayar hutang. Kita dapat bekerja keras sepanjang hidup kita, dan itu tetap tidak bernilai apa-apa. Tuhan bisa memberikan kita kekekalan untuk membayar hutang kita. Dan itu hanya bisa membayar sebagian kecil dari hutang kita. Tidak ada jumlah pekerjaan dan waktu yang dapat membebaskan kita dari hutang kita. Hutang kita tidak terhitung. Jadi yang pertama, kita harus mempertimbangkan hutang kita kepada Tuhan. Kita harus merasakan keburukan dan keputusasaan dari situasi kita.

Tetapi kedua, pertimbangkan harga yang harus Tuhan bayar untuk mengampuni kita. Tidak ada yang namanya pengampunan gratis. Seseorang harus membayar hutang. Dan kita tidak mungkin melakukannya. Jadi, apa yang Tuhan lakukan? Tuhan menunjukan belas kasihan kepada kita. Dia turun ke level kita. Yesus meninggalkan takhta Surga dan menjadi sama seperti kita. Dan Yesus sendiri yang menanggung hutang itu. Yesus tahu apa yang harus dia bayar. Dia tahu bahwa satu-satunya cara untuk membayar hutang dosa kita adalah agar dia yang tidak mengenal dosa menjadi dosa dan mati demi kita. Dia tahu bahwa ini akan merenggut nyawanya dan dia tetap melakukannya. Itulah sebabnya di kayu salib, Yesus berseru, “Tetellastai. Sudah selesai.” Yesus menyatakan di kayu salib bahwa hutang telah dibayar lunas. Dan pembayaran hutang adalah darahnya sendiri. Jadi sekarang, setiap orang yang menaruh iman mereka di dalam Yesus menerima belas kasihan Tuhan. Bukan karena Tuhan lunak terhadap dosa tetapi karena hutang telah dibayar lunas. Keadilan sudah dipuaskan. Yesus membayar semuanya sampai sen terakhir. Kita semua adalah hamba yang bertindak seperti raja untuk menghukum sesama hamba kita. Tetapi Yesus adalah raja yang menjadi hamba untuk menyelamatkan sesama hambanya.

Jadi bagaimana kita bisa memiliki kekuatan untuk mengampuni? Kekuatan untuk mengampuni datang dari melihat hutang kita kepada Tuhan dan menikmati pengampunan yang Yesus sudah bayar untuk kita. Seberapa dalam kita bisa melihat hutang dan pengampunan kita, sampai disitu kita bisa mengampuni orang lain. Kita tidak akan pernah bisa mengampuni hutang orang lain kepada kita kecuali kita melihat Yesus membayar hutang kita yang tidak terbatas terhadap Tuhan. Hutang orang lain kepada kita hanyalah sebagian kecil dari hutang kita kepada Tuhan. Dan jika Yesus dapat membayar hutang tidak terbatas yang kita miliki terhadap Tuhan, maka kita dapat membayar hutang yang jauh lebih kecil yang dimiliki orang lain terhadap kita. Satu-satunya cara kita bisa berhenti mencekik satu sama lain adalah jika kita leleh dengan keindahan raja yang menjadi hamba untuk membayar hutang kita.

Dan jangan anggap enteng hal ini. Ini adalah peringatan keras bagi kita semua. Karena menurut Yesus, kegagalan untuk memberikan pengampunan kepada orang lain adalah tanda kegagalan dalam menerima pengampunan dari Tuhan. Ketika kita gagal mengampuni orang lain, itu karena kita membuat kesalahan mereka terhadap kita terlihat sangat besar dan kita membuat kesalahan kita terhadap Tuhan terlihat sangat kecil. Dan ini memiliki konsekuensi abadi. Jika kita menolak untuk mengampuni orang lain, kita tidak memiliki pengampunan dari Tuhan. Kita berada di dalam penjara kepahitan. Kita hanya bisa bebas ketika kita memberikan pengampunan kepada mereka yang menyakiti kita. Jadi inilah pertanyaan saya dan saya selesai. Siapa yang perlu anda ampuni hari ini? Berhenti menempatkan diri anda di dalam penjara dan bebaskan diri anda dengan kuasa Injil. Biarlah Injil melelehkan hati anda dan memampukan anda untuk menyalurkan pengampunan yang telah anda terima dari Tuhan kepada mereka. Mari kita berdoa.

Discussion questions:

  1. In your experience, why is forgiveness extremely hard?
  2. Matthew 18:35 – So also my heavenly Father will do to every one of you, if you do not forgive your brother from your heart. What is the relationship between God’s forgiveness of us and our forgiveness of others?
  3. Why is it very hard for us to choose to see the best in the person who hurt us?
  4. By default, we want to make the other person pay the debt. What did you often do to make the other person pay the debt and why is it only making you worse?
  5. Can you think of a time where you pursue justice without forgiving and releasing the person first? What happened?
  6. Think of a person who has hurt you. How does the gospel enable you to forgive that person?
No Comments

Sorry, the comment form is closed at this time.