Kasih Allah dalam kesulitan

Ibrani 12:3-17

Ingatlah selalu akan Dia, yang tekun menanggung bantahan yang sehebat itu terhadap diri-Nya dari pihak orang-orang berdosa, supaya jangan kamu menjadi lemah dan putus asa. Dalam pergumulan kamu melawan dosa kamu belum sampai mencucurkan darah. Dan sudah lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak: “Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak.” Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya? Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang. Selanjutnya: dari ayah kita yang sebenarnya kita beroleh ganjaran, dan mereka kita hormati; kalau demikian bukankah kita harus lebih taat kepada Bapa segala roh, supaya kita boleh hidup? Sebab mereka mendidik kita dalam waktu yang pendek sesuai dengan apa yang mereka anggap baik, tetapi Dia menghajar kita untuk kebaikan kita, supaya kita beroleh bagian dalam kekudusan-Nya. Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya.

Sebab itu kuatkanlah tangan yang lemah dan lutut yang goyah; dan luruskanlah jalan bagi kakimu, sehingga yang pincang jangan terpelecok, tetapi menjadi sembuh. Berusahalah hidup damai dengan semua orang dan kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorangpun akan melihat Tuhan. Jagalah supaya jangan ada seorangpun menjauhkan diri dari kasih karunia Allah, agar jangan tumbuh akar yang pahit yang menimbulkan kerusuhan dan yang mencemarkan banyak orang. Janganlah ada orang yang menjadi cabul atau yang mempunyai nafsu yang rendah seperti Esau, yang menjual hak kesulungannya untuk sepiring makanan. Sebab kamu tahu, bahwa kemudian, ketika ia hendak menerima berkat itu, ia ditolak, sebab ia tidak beroleh kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya, sekalipun ia mencarinya dengan mencucurkan air mata.

Salah satu film komedi favorit saya adalah film “Click”. Menurut saya, ini adalah film Adam Sandler yang terbaik. Apa yang membuat komedi yang bagus? Komedi yang bagus tidak hanya membuat anda tertawa, tetapi juga membuat anda menangis. Saya sudah menonton Click beberapa kali dan tidak ada satu kali pun saya tidak meneteskan air mata. Jika anda belum menontonnya, saya anjurkan anda untuk menontonnya. Setelah ibadah ini selesai tentunya. Bukan saat anda mendengarkan khotbah. Atau anda akan disambar petir. Saya akan mencoba memberikan anda sinopsis ceritanya tanpa spoiler. Michael Newman adalah seorang arsitek pekerja keras yang mengasihi keluarga dan pekerjaannya. Dan seperti setiap ayah yang bekerja keras, dia berjuang untuk menemukan keseimbangan yang tepat antara pekerjaan dan keluarga. Dia ingin meluangkan waktu bersama keluarganya tetapi pada saat yang sama, dia juga ingin menyenangkan bosnya. Dan ini menimbulkan banyak kefrustrasian dan konflik dalam hidupnya. Sampai suatu hari, ia bertemu dengan seorang pria misterius bernama Morty, yang memberikan dia remot kontrol universal. Apa yang menakjubkan tentang remot kontrol ini adalah remot ini memungkinkan dia untuk mempercepat dan memundurkan hidupnya. Jadi, setiap kali dia dihadapkan pada situasi yang sulit, yang perlu dia lakukan hanyalah menekan tombol percepat. Dan dalam sekejap, situasinya sudah berakhir. Coba pikirkan. Betapa menakjubkan jika kita memiliki remot kontrol tersebut. Ujian, percepat. Jam kerja, percepat. Ribut dengan pasangan atau orang tua, percepat. Patah hati, percepat. Sekolah, percepat. Lockdown, percepat. Liburan, mundur. Setuju? Hidup seperti inilah yang kita sukai. Kita ingin menikmati semua bagian yang indah tanpa mengalami bagian yang sulit.

Timothy Keller membuat pengamatan yang sangat menarik tentang budaya kita hari ini. Dia berkata, “Tidak pernah ada budaya yang kurang siap menghadapi kebrutalan hidup yang menyakitkan daripada budaya kita.” Dan menurut saya dia benar. Semakin hari, budaya kita menjadi semakin tidak siap untuk menghadapi kesulitan hidup. Hari ini, kita ingin semuanya semudah mungkin. Kita memiliki begitu banyak aplikasi untuk memudahkan kita. Dan hal yang sama juga terjadi di dalam kehidupan kekristenan. Kita menyukai bagian yang indah dari kehidupan kekristenan. Kita senang mendengar bahwa Allah itu pengasih dan murah hati dan panjang sabar. Kita senang mendengar bahwa Allah adalah Allah yang memulihkan dan menyembuhkan dan memberikan masa depan yang indah. Saya katakan “Amin” untuk semua hal tersebut. Tetapi ada sisi lain dari kehidupan kekristenan yang tidak populer. Bagian yang sering kita tidak nikmati dan sukai. Ini adalah bagian yang sulit. Ini adalah bagian yang jika kita bisa, kita ingin menekan tombol percepat dan melewatinya. Tetapi jika kita telah berjalan dengan Yesus untuk sementara waktu, maka kita tahu bahwa dalam kesulitanlah hubungan kita dengan Yesus paling berkembang. Dalam kesulitanlah kita mengalami kasihnya yang lembut dan manis. Siapa pun yang memberitahu kita bahwa mengikuti Yesus itu mudah tidak pernah mengikuti Yesus. Yesus tidak datang untuk membuat hidup kita lebih mudah. Yesus datang untuk menunjukkan kepada kita bahwa dia lebih baik daripada hidup. Dan melalui kesulitan dalam hiduplah kita seringkali mengalami bahwa Yesus memang lebih baik daripada hidup.

Ingat konteks kitab Ibrani. Penerima surat Ibrani adalah orang-orang Kristen Yahudi yang berjuang untuk mengikuti Yesus. Mereka dianiaya oleh pemerintah Romawi dan komunitas Yahudi mereka. Mereka ditolak oleh orang-orang di sekitar mereka. Mereka berada di bawah tekanan yang luar biasa. Beberapa dari mereka menjadi lelah dan mulai kehilangan semangat. Dan tentu saja, pertanyaan yang muncul di benak mereka adalah, “Jika Allah itu baik, mengapa Dia membiarkan kita mengalami kesulitan ini?” Dan penulis Ibrani memberi tahu kita jawabannya dalam perikop ini. Dan jika saya dapat menyimpulkan khotbah ini dalam satu kalimat, ini kalimatnya. Tanggapan terbaik terhadap kesulitan bukanlah untuk lari dari Allah tetapi lari kepada Allah karena Allah adalah Bapa kita yang berdaulat dan penuh kasih.

Saya memisahkan khotbah ini menjadi tiga bagian yang berbeda: Bukti; Tujuan; Tanggung jawab.

Bukti

Ibrani 12:3-6 – Ingatlah selalu akan Dia, yang tekun menanggung bantahan yang sehebat itu terhadap diri-Nya dari pihak orang-orang berdosa, supaya jangan kamu menjadi lemah dan putus asa. Dalam pergumulan kamu melawan dosa kamu belum sampai mencucurkan darah. Dan sudah lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak: “Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak.”

Di ayat 3, penulis Ibrani mengingatkan orang-orang Kristen Yahudi untuk mengingat Yesus. Mengapa penting untuk mengingat Yesus? Karena Yesus tidak asing dengan kesulitan. Yesus mengalami apa yang mereka alami dan bahkan lebih dari itu. Sekeras apa pun mereka berjuang, mereka tidak berjuang lebih daripada Yesus. Pada saat surat ini ditulis, belum seorang pun dari mereka yang mati karena iman mereka kepada Yesus. Dianiaya? Ya. Diolok-olok? Ya. Tetapi dibunuh karena iman mereka? Tidak. Yesus mengalami jauh lebih buruk. Yesus dianiaya dan dibunuh untuk mereka. Dan penulis Ibrani memberitahu mereka untuk mengingat apa yang Yesus alami bagi mereka sehingga mereka tidak menjadi lemah atau putus asa dalam pergumulan mereka melawan dosa. Perhatikan dengan baik. Pergumulan melawan dosa dalam konteks ini bukanlah pergumulan melawan dosa di dalam diri mereka. Ini tidak mengacu pada pergumulan mereka melawan hawa nafsu, kesombongan, kemarahan, keserakahan dll. Pergumulan melawan dosa di sini adalah pergumulan melawan dosa di luar diri mereka. Ini mengacu pada dosa yang dilakukan orang lain terhadap mereka. Jadi, mereka bergumul bukan karena dosa mereka tetapi karena dosa orang lain. Mungkin teman mereka menusuk mereka dari belakang. Mungkin pasangan mereka selingkuh. Mungkin rekan bisnis mereka membohongi mereka dan mengambil uang mereka. Ini adalah dosa yang berada di luar kendali mereka. Tetapi perhatikan ini. Penulis mengatakan kepada mereka bahwa dosa yang dilakukan terhadap mereka mungkin berada di luar kendali mereka, tetapi bukan berarti bahwa itu di luar kendali. Ada satu sosok yang mengawasi semua kesulitan yang mereka lalui. Dan sosok itu adalah Bapa surgawi mereka, Allah yang berdaulat atas alam semesta.

Dan ini mengejutkan. Ini berarti bahwa setiap kesulitan, setiap pergumulan, setiap kesukaran yang kita alami dalam hidup, semuanya berasal dari tangan Allah. Cara kesulitan datang mungkin melalui musuh kita, tetapi itu direncanakan oleh Allah. Seperti yang akan kita lihat, Allahlah yang merencanakan dan mengarahkan semua kesulitan yang dialami umat-Nya. Allahlah yang pegang kendali. Dan Allah bukan pengamat yang pasif. Dia tidak melihat kesulitan kita dan menggaruk kepala-Nya di surga sambil berkata, “Hmm, apa yang kira-kira harus Aku lakukan dengan serangan musuh yang dialami Yosi saat ini.” Tidak. Allah dalam Alkitab memegang kendali mutlak atas setiap detail dari apa yang dilakukan musuh. Allah tidak tiba di tempat kejadian mencoba untuk memperbaiki apa yang telah dirusak oleh musuh. Allah tidak ada dalam bisnis perbaikan; Dia ada dalam bisnis disiplin. Dan disiplin Allah sudah direncanakan dan diukur. Dengan kata lain, kesulitan yang kita alami adalah bagian dari disiplin Allah. Allah mendisiplinkan kita sebagai anak-anak-Nya.

Kemudian penulis memberitahu kita bahwa ada dua tanggapan yang salah terhadap disiplin Allah. Tanggapan salah yang pertama adalah menganggap enteng disiplin Allah. Ini untuk menjadi acuh tak acuh. Ini untuk mengatakan bahwa karena kita tidak dapat melihat tujuan di balik kesulitan kita, maka itu berarti bahwa tidak ada tujuan dari kesulitan kita. Karena kita tidak dapat melihat kebaikan dalam pergumulan kita, maka pergumulan kita tidak berarti dan tidak berharga. Kita berjalan dengan kepala tertunduk dan menjadi sangat pesimis. Ini seperti ketika seorang ayah mendisiplinkan putrinya karena tidak mengerjakan pekerjaan rumahnya dan mengatakan kepadanya, “Karena kamu tidak mengerjakan pekerjaan rumahmu, kamu tidak boleh pergi ke pesta ulang tahun Jennifer.” Dan putrinya menjawab, “Ya sudah. Aku juga tidak pingin pergi ke pesta Jennifer” dan berjalan pergi.

Tanggapan salah yang kedua adalah menjadi putus asa. Artinya adalah untuk kehilangan hati, berpikir dan percaya bahwa Allah tidak menginginkan yang terbaik untuk kita. Jadi, ketika kesulitan datang, kita mengarahkan jari kita kepada Allah dan berkata, “Tuhan, kamu tidak tahu apa yang kamu lakukan. Kamu terlalu bodoh untuk mengatur hidupku.” Jadi, kembali ke analogi ayah-putri, anak perempuan itu menjawab, “Aku benci papi karena papi tidak mengizinkan aku pergi ke pesta ulang tahun Jennifer. Papi menghancurkan hidup aku. Papi tidak sayang aku.” Dia membuat ayahnya menjadi orang jahat. Berapa banyak orang tua yang tahu apa yang saya bicarakan?  

Dan begitulah cara bagaimana kita sering kali menanggapi disiplin Allah. Entah kita menjadi acuh tak acuh terhadap Allah atau kita menjadikan Allah sebagai musuh. Tetapi ini bukan bagaimana kita seharusnya menanggapi disiplin Allah. Penulis Ibrani memberi tahu kita bahwa Allah mendisiplinkan kita bukan karena Dia tidak peduli dengan kita, bukan karena Dia tidak memikirkan kepentingan terbaik kita, tetapi karena Dia mengasihi kita sebagai anak-anak-Nya. Allah mendisiplinkan orang-orang yang dikasihi-Nya. Dengan kata lain, disiplin Allah membuktikan bahwa kita dikasihi oleh Allah. Jadi, respons yang tepat seharusnya, “Papi, aku menyadari bahwa aku salah karena tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Dan papi mendisiplinkan aku karena papi mengasihi aku sebagai anak papi, dan papi melakukannya untuk kebaikan aku. Jadi, terima kasih, papi.” Ini tanggapan yang benar. Tetapi para orang tua, jika anak-anak anda menanggapi disiplin anda seperti ini, anda akan mengalami serangan jantung. Dibutuhkan keajaiban bagi mereka untuk mengatakan ini. Tetapi penulis Ibrani sangat jelas. Fakta bahwa Allah mendisiplinkan kita membuktikan bahwa kita adalah anak-anak Allah.

 

Ibrani 12:7-8 – Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya? Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang.

Coba pikirkan. Apa hal terburuk yang bisa dilakukan orang tua kepada anak-anak mereka? Ini adalah untuk tidak pernah mendisiplinkan anak-anak mereka. Saya yakin anda pernah bertemu dengan orang tua yang menolak untuk mendisiplinkan anak-anak mereka. Dan izinkan saya memberi tahu anda, ini bukan kasih; ini kekejaman. Karena orang tua yang tidak mendisiplinkan anaknya mempersiapkan anaknya untuk menghabiskan sisa hidupnya baik di penjara atau rumah sakit jiwa. Itulah yang terjadi di banyak drama Korea. Dalam satu dekade terakhir ini, ada tren di mana orang tua berusaha untuk menjadi sahabat terbaik bagi anak-anak mereka. Mereka ingin anak-anak mereka tidak hanya mengasihi mereka tetapi juga menyukai mereka. Dan tidak ada salahnya untuk berteman baik dengan anak-anak anda. Tetapi bukan itu peran utama orang tua. Para orang tua, peran utama anda adalah melatih anak-anak anda dalam takut akan Allah. Dan itu berarti terkadang anda harus menjadi musuh mereka demi kebaikan mereka. Terkadang anda harus menyakiti mereka untuk mendisiplinkan mereka. Sebagai orang tua, anda tidak ingin anak anda tetap kekanak-kanakan tetapi bertumbuh dalam kedewasaan. Kasih sayang dan disiplin orang tua berjalan beriringan. Anda tidak dapat memisahkan keduanya.

Dengan cara yang sama, kita tidak dapat memisahkan kasih Allah dan disiplin Allah. Keduanya berjalan bersama. Jika kita adalah anak-anak Allah, Dia akan mendisiplinkan kita. Bahkan, tahukah anda apa hal terburuk yang Allah dapat lakukan kepada kita? Adalah untuk membiarkan kita semau kita. Sering kali, kita berpikir bahwa murka Allah adalah ketika Dia menghukum kita karena dosa-dosa kita. Dan itu ada kebenarannya. Tetapi ada sisi lain dari murka Allah. Dalam Roma pasal 1, Paulus memberi tahu kita bahwa murka Allah juga melibatkan Allah membiarkan orang-orang menuruti hawa nafsu dosa mereka. Murka Allah adalah ketika Allah membiarkan orang-orang melakukan apapun yang mereka inginkan. Jadi, jika kita hidup dalam dosa dan Allah tidak melakukan apa-apa, kita harus sangat takut. Kita harus sangat khawatir. Karena itu berarti kita bukan anak-anak Allah.

Orang tua, anda memahami hal ini. Ketika anak-anak anda bermain dengan teman-teman mereka di rumah anda, dan mereka bekerja sama menghancurkan isi rumah, anda mendisiplinkan anak-anak anda. Tetapi anda tidak mendisiplinkan teman-teman mereka. Mengapa? Karena mereka bukan anak anda. Anda tidak memukul anak orang lain. Anda bisa masuk penjara untuk itu. Apakah anda lihat? Kita mungkin berada di gereja, tetapi jika Allah tidak mendisiplinkan kita, maka kita bukanlah anak-anak Allah. Kita adalah anak orang lain. Tetapi jika Allah mendisiplinkan kita, itu menunjukkan bahwa kita adalah anak-anak-Nya, dan Dia mengasihi kita. Jadi, disiplin Allah adalah bukti bahwa kita adalah anak-anak Allah. Jika kita memahami hal ini, janganlah kita menganggap enteng atau putus asa dengan disiplin Allah. Tetapi bersukacitalah karena Allah memperlakukan kita sebagai anak-anak-Nya.

Tujuan

Ibrani 12:9-10 – Selanjutnya: dari ayah kita yang sebenarnya kita beroleh ganjaran, dan mereka kita hormati; kalau demikian bukankah kita harus lebih taat kepada Bapa segala roh, supaya kita boleh hidup? Sebab mereka mendidik kita dalam waktu yang pendek sesuai dengan apa yang mereka anggap baik, tetapi Dia menghajar kita untuk kebaikan kita, supaya kita beroleh bagian dalam kekudusan-Nya.

Sebelum kita melanjutkan, penting untuk dicatat bahwa ada perbedaan antara disiplin dan hukuman. Hukuman memiliki konotasi negatif. Hukuman adalah sesuatu yang dilakukan sebagai pembalasan atau pembayaran. Jadi, jika saya memukul wajah anda karena saya tidak suka dengan wajah anda, dan kemudian saya dipecat dari gereja, ini adalah hukuman. Tetapi disiplin berbeda. Disiplin memiliki konotasi positif. Disiplin bukan pembalasan atau pembayaran. Disiplin adalah apa yang kita lakukan untuk kebaikan orang lain. Inilah yang dilakukan orang tua yang penuh kasih kepada anak-anak mereka demi kebaikan anak-anak mereka. Disiplin Allah melibatkan koreksi, tetapi itu bukan hukuman atas dosa-dosa kita. Hukuman dosa kita sudah dibayar oleh Yesus di kayu salib sehingga yang tersisa bagi kita adalah Allah melatih kita untuk bertumbuh dalam kekudusan.

Di ayat 9, penulis Ibrani memberikan perbandingan antara bapa kita di dunia dan Bapa kita di surga. Bapa duniawi mendisiplinkan kita, dan kita berterima kasih kepada mereka karenanya. Tetapi mereka hanya mendisiplinkan kita untuk hidup yang sementara. Efek disiplin mereka rata-rata berlangsung sekitar 70 tahun sampai kita mati. Tetapi Bapa surgawi mendisiplinkan kita untuk hidup yang kekal. Efek dari disiplin-Nya adalah selamanya. Dan jika kita menghormati bapa kita di dunia untuk disiplin mereka dalam kehidupan sementara ini, bukankah kita harus lebih taat kepada Bapa surgawi yang mendisiplinkan kita untuk kehidupan kekal? Dan bukan hanya itu, disiplin Allah juga disiapkan khusus untuk kita. Artinya, tidak ada satu pun disiplin yang sia-sia atau tidak berguna. Segala sesuatu yang Allah izinkan terjadi dalam hidup kita disesuaikan khusus untuk kita. Dan ini adalah sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh bapa di dunia.

Saya berikan sebuah contoh. Saya tumbuh besar di dalam keluarga yang sangat ketat. Papi dan mami saya mencintai Allah dan mereka memahami pentingnya disiplin untuk membesarkan anak-anak mereka dengan baik. Dan seperti yang anda bisa lihat, menurut saya mereka melakukan pekerjaan yang sangat baik. Saya berterima kasih kepada Allah untuk mereka. Namun, saya tidak selalu menghargai disiplin mereka. Ketika saya masih kecil, setiap kali saya tidak mentaati papi mami, papi akan mendisiplinkan saya. Di jaman itu, saya tidak memiliki “time out”. Saya tidak pernah disuruh berdiri di pojok ruangan untuk merenungkan apa yang saya lakukan. Bagi seorang introvert seperti saya, time out bukanlah disiplin; itu adalah surga. Yang terjadi adalah, “Kamu melakukan apa? Kappooow.” Begitulah kehidupan keluarga Yusuf. Dan sebelum papi saya menyabuki saya, dia sering berkata, “Ini akan lebih menyakiti papi daripada menyakiti kamu.” Dan saya kadang berpikir, “Jika itu benar, mengapa repot-repot? Sudah ga usah sabukin dan kita berdua sama sama tidak harus sakit.” Tetapi tentu saja, saya tidak mengatakannya. Jika tidak, itu bukan lagi “Kapooow” tetapi “Kapppoow Kapppow”. Tetapi mari kita jujur. Papi saya mendisiplinkan saya untuk kebaikan saya. Dia melakukannya karena dia mengasihi saya. Tetapi tidak peduli seberapa baik niatnya, disiplin papi saya tidak sempurna. Dia mendisiplinkan saya sesuai dengan apa yang dia anggap baik, tetapi dia tidak tahu segalanya. Dia tidak tahu pasti bagaimana hasil disiplinnya. Dan ada disiplin yang dia berikan yang seharusnya dia tidak lakukan. Mungkin dia mendisiplin saya karena frustrasi ataupun karena preferensi pribadinya. Dia terbatas dalam pengetahuan dan dia sangat bisa salah dalam mendisiplin saya. Disiplin papi saya tidak sempurna karena dia tidak sempurna.

Namun tidak demikian dengan Bapa surgawi. Bapa surgawi tidak pernah mendisiplinkan kita kecuali untuk kebaikan kita. Dia tahu persis apa yang Dia dapatkan ketika Dia memilih kita sebelum dunia dijadikan. Dia tahu persis bagaimana kita akan bereaksi dan berperilaku. Dia tahu apa yang kita lakukan kemarin dan apa yang akan kita lakukan besok. Kita tidak bisa membuat Dia terkejut, dan Dia tidak pernah frustrasi. Jadi, ketika Allah mendisiplinkan kita, Dia melakukannya dengan sempurna. Dia tidak pernah melakukannya karena frustrasi. Dia mengizinkan hanya apa yang kita butuhkan untuk kebaikan kita. Tidak satu pukulan terlalu banyak ataupun satu pukulan terlalu sedikit. Tidak satu milimeter lebih ataupun satu milimeter kurang. Disiplin Allah adalah persis apa yang kita butuhkan untuk kebaikan kita. Disiplin Allah disesuaikan khusus untuk kita. Tidak ada disiplin yang dilakukan tanpa tujuan. Hanya karena kita tidak dapat melihat tujuan bukan berarti tidak ada tujuan. Dan apa tujuannya? Tujuannya adalah agar “supaya kita beroleh bagian dalam kekudusan-Nya.” Dengan kata lain, Allah mendisiplinkan kita agar kita menjadi seperti Dia. Dia ingin kita bertumbuh dalam keserupaan dengan Kristus.

Lihat ayat 11. Ini sangat penting. Ibrani 12:11 – Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya. Disiplin Allah selalu untuk kebaikan kita. Tetapi ketika kita melewatinya, itu tidak terasa untuk kebaikan kita. Semua disiplin menyakitkan ketika kita berada di dalamnya. Namun seiring berjalannya waktu, kita akan dapat melihat buah yang baik dari disiplin Allah. Dan kata yang penulis Ibrani gunakan di sini adalah kata “dilatih” yang berasal dari kata Yunani dari mana kita memiliki kata “gym.” Jadi, disiplin Allah terasa seperti pergi ke gym untuk berolahraga.

Beberapa tahun yang lalu, teman saya mengajak saya ke tempat pelatihan tubuh yang sangat Kristen. Ini sangat populer. Beberapa dari anda mungkin pernah mendengarnya. Namanya adalah CrossFit. Apakah anda mengerti? Cross fit. Saat itu saya hanya tahu sedikit tentang CrossFit. Dan teman saya yang mengajak saya jauh lebih gemuk daripada saya. Jadi, saya berpikir, “Tidak mungkin terlalu sulit. Jika dia bisa, aku yakin aku bisa. Aku jauh lebih kurus dan lebih sehat daripada dia.” Dan ketika kami sampai di kelas, pelatih menulis di papan tulis apa yang akan kami lakukan dalam 40 menit berikutnya. Lari 10 menit untuk pemanasan. Diikuti dengan total 160 squat, 120 sit-up, 100 lunge, 100 burpe, 100 push-up, 100 pendaki gunung, dan 60 squat loncat dalam empat set yang berbeda. Dan saya berpikir, “Ini tempat pelatihan atau tempat kematian?” Saya k.o. setelah dua set. Dan pelatihnya berteriak kepada saya, “Jangan berhenti. Aku tahu kamu bisa. Kamu memiliki apa yang diperlukan. Kamu tidak selemah ini. Kamu lebih kuat dari yang kamu kira.” Dan saya menjawab dalam hati, “Tidak, aku yakin aku selemah ini. Janggan ganggu aku.” Saya benar-benar mau pingsan di lantai, berusaha untuk tidak muntah. Tetapi yang paling mengejutkan adalah teman saya yang jauh lebih gemuk daripada saya mampu menyelesaikan empat set. Ternyata, dia jauh lebih sehat daripada saya. Jadi, di akhir latihan, saya bertanya kepada dia, “Koq kamu bisa selesai? Aku nyerah setelah dua set.” Dia menjawab, “Waktu aku pertama kali memulai CrossFit, aku cuman bisa menyelesaikan satu set. Tetapi aku terus ikut. Dan di setiap sesi, aku didorong ke titik yang aku kira adalah batasanku dan aku mencoba untuk terus lanjut sedikit lagi. Dan dengan begitu aku menjadi lebih kuat.”

Apakah anda melihat apa yang terjadi? Inilah ironinya. Kita tidak menjadi lebih kuat dengan tetap berada di zona nyaman kita. Kita tidak menjadi lebih kuat pada titik di mana kita merasa kuat. Tidak. Bukan begitu cara kerjanya. Kita menjadi lebih kuat pada saat terlemah kita. Pada titik ketika setiap otot di dalam diri kita berteriak menyuruh kita untuk berhenti, tetapi kita berjuang sedikit lagi, itulah titik di mana kita menjadi lebih kuat. Semakin kita merasa lemah semakin kita menjadi kuat. Kita tidak merasa menjadi semakin kuat, tetapi kita semakin kuat. Itulah yang terjadi dalam pelatihan. Kita mungkin tidak berpikir bahwa kita menjadi lebih kuat pada saat terlemah kita, tetapi kita menjadi lebih kuat. Jangan lewatkan ini. Melalui disiplin, Allah membentuk kita menjadi diri kita yang seharusnya melalui cara yang tidak akan kita pilih sendiri. Iman kita tidak akan bertumbuh jika tidak diuji. Komitmen kita tidak akan bertumbuh jika tidak diancam. Kesabaran kita tidak akan bertumbuh jika tidak ditarik. Keberanian kita tidak akan bertumbuh jika tidak ditantang. Jadi ya, semua disiplin itu menyakitkan. Tetapi itu akan menghasilkan buah kebenaran bagi mereka yang telah dilatih olehnya. Setelah melewati disiplin Allah, kita menemukan diri kita lebih kuat, lebih sehat, lebih baik, lebih sabar, lebih berkomitmen, lebih berani, lebih mengasihi. Kita menemukan diri kita bertumbuh dalam keserupaan dengan Kristus.

Permasalahannya adalah anda dan saya adalah makhluk yang terbatas. Yang bisa kita lihat hanyalah sekarang. Tetapi Allah itu kekal. Dia melihat kehidupan dari sudut pandang yang berbeda dari kita. Dia lebih tahu daripada kita. Kita hanya peduli akan saat sini dan sekarang, tentang apa yang kita rasakan saat ini. Tetapi Allah tidak hanya peduli akan saat ini dan sekarang, tetapi juga tentang hari esok. Dia peduli tentang siapa kita di kemudian hari. Dan Allah mendisiplinkan kita dengan jumlah yang tepat dan durasi yang tepat untuk menghasilkan buah kebenaran di dalam diri kita. Jadi, apa pun kesulitan yang kita alami saat ini, kita tidak ada di sana secara kebetulan. Allah tidak terkejut dengan di mana kita berada dalam hidup. Dia mengatur kita untuk berada di tempat dimana kita berada sekarang karena Dia lebih berkomitmen untuk kebaikan kita daripada kita. Apapun perjuangannya, apapun kesulitannya, apapun disiplinnya, kita dapat yakin bahwa itu semua dimotivasi oleh kasih Allah kepada kita sebagai anak-anak-Nya. Dapatkah anda melihat betapa indahnya hal ini?

Tanggung jawab

Ibrani 12:12-14 – Sebab itu kuatkanlah tangan yang lemah dan lutut yang goyah; dan luruskanlah jalan bagi kakimu, sehingga yang pincang jangan terpelecok, tetapi menjadi sembuh. Berusahalah hidup damai dengan semua orang dan kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorangpun akan melihat Tuhan.

Dalam ayat-ayat ini, penulis Ibrani memberi tahu kita tanggung jawab kita agar kita bisa menyelesaikan perlombaan dengan baik. Dan ada dua jenis tanggung jawab yang berbeda. Pertama, tanggung jawab pribadi. Perhatikan kata “sebab itu”. Artinya, apa pun yang akan penulis sampaikan kepada kita selanjutnya, itu didasarkan fakta bahwa kita tahu bahwa Allah adalah Bapa surgawi kita yang mendisiplin kita demi kebaikan kita. Dia mengatakan bahwa karena kita memiliki Allah sebagai Bapa kita yang penuh kasih, yang pertama, kita tidak seharusnya berkecil hati. Karena perlombaan kita panjang, kita akan sering merasa lelah dalam perlombaan kita. Tetapi dorongannya adalah bahwa Allah tahu persis apa yang Dia lakukan. Dia tidak menempatkan kita pada perlombaan yang salah. Perlombaan kita disiapkan khusus untuk kita, dan tantangan kita dirancang khusus untuk kita. Itu semua adalah bagian dari disiplin Allah untuk melatih kita menjadi seperti Yesus. Jadi kita harus menguatkan tangan kita yang lemah dan lutut kita yang goyah dan terus berlari. Dan ya, kita akan terluka di dalam perlombaan. Dan ini bertentangan dengan intuisi kita. Ketika kita berpikir tentang terluka, kita berpikir untuk menekan tombol berhenti dan mengambil waktu untuk beristirahat dan sembuh. Namun dalam perlombaan kekristenan, cara untuk sembuh dari luka adalah dengan terus berlari di perlombaan yang Allah telah tetapkan untuk kita. Jadi jangan patah semangat dan teruslah berlari.

Yang kedua, kita juga memiliki tanggung jawab pribadi untuk berusaha hidup damai dengan semua orang. Sebagai umat Kristus, kita dipanggil untuk menjadi agen rekonsiliasi, bukan agen pembalasan. Dan sekali lagi, hidup damai tidak terjadi dengan begitu saja, apalagi jika kita adalah pihak yang dilukai. Inilah yang terjadi dengan orang-orang Kristen Yahudi. Mereka dianiaya bukan karena mereka berbuat salah tetapi karena mereka berbuat benar. Dan penulis memberitahu mereka untuk berusaha hidup damai dengan semua orang. Tetapi ada juga saat dimana perdamaian tidak mungkin terjadi karena meskipun kita sudah berusaha sebisa kita untuk berdamai, pihak lain menolak untuk berdamai dengan kita. Dalam hal ini, kita tidak lagi berkewajiban untuk berdamai dengan mereka menurut Roma 12:18. Dan tanggung jawab pribadi yang ketiga adalah untuk mengejar kekudusan yang tanpanya tidak seorang pun akan melihat Allah. Ini artinya adalah untuk hidup sesuai dengan kebenaran Injil. Mereka yang percaya kepada Injil akan hidup oleh Injil. Atau dengan kata lain, iman tanpa perbuatan adalah sia-sia. Jika kita mengaku kita mengasihi Yesus tetapi kita tidak bertumbuh dalam kekudusan, kita adalah pembohong. Tetapi ada jenis tanggung jawab lain selain tanggung jawab pribadi.

Ibrani 12:15-16 – Jagalah supaya jangan ada seorangpun menjauhkan diri dari kasih karunia Allah, agar jangan tumbuh akar yang pahit yang menimbulkan kerusuhan dan yang mencemarkan banyak orang. Janganlah ada orang yang menjadi cabul atau yang mempunyai nafsu yang rendah seperti Esau, yang menjual hak kesulungannya untuk sepiring makanan.

Jenis tanggung jawab yang kedua adalah tanggung jawab bersama. Ungkapan “jagalah” menunjukkan bahwa ini adalah tanggung jawab setiap umat Kristus dan bukan hanya para pendeta. Saya sering berkata bahwa kekristenan adalah iman pribadi tetapi proyek komunitas. Kita sangat membutuhkan satu sama lain untuk menyelesaikan perlombaan dengan baik. Jadi, apa tanggung jawab bersama kita? Pertama, kita harus memastikan bahwa tidak seorang pun menjauhkan diri dari kasih karunia Allah. Dengan kata lain, kita bertanggung jawab untuk saling membantu dan menjaga satu sama lain dalam perjalanan mereka bersama Allah. Jadi, ketika kita melihat orang-orang di sekitar kita mulai menyimpang dari iman kekristenan, kita tidak tinggal diam, tetapi kita datang kepada mereka dan mendorong mereka untuk terus berlari. Kita mengingatkan mereka akan Injil dan kasih karunia Allah yang tersedia bagi mereka.

Kedua, kita harus memastikan bahwa tidak ada akar kepahitan yang tumbuh dan menimbulkan kerusuhan. Ingat bahwa perlombaan kekristenan itu panjang dan sulit. Banyak orang akan terluka dan menjadi pahit. Mereka mungkin berharap jika mereka mengikuti Yesus maka hidup mereka akan bahagia dan indah. Tetapi kemudian kehidupan tidak berjalan sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Mungkin orang yang mereka kasihi meninggal karena sakit. Mungkin pasangan mereka tidak berubah menjadi lebih baik. Atau mungkin bisnis mereka bangkrut. Mereka tidak bahagia, dan mereka ingin menyalahkan seseorang. Dan bukannya lari kepada Allah, mereka malah kecewa kepada Allah, dan mereka mempertanyakan segalanya. Mereka mengeluh tentang Allah, gereja, pendeta, komunitas, pelayanan, dan mereka terus-menerus menyebabkan masalah. Bukannya menjalankan perlombaan mereka, mereka malah mengalihkan perhatian orang lain dari menjalankan perlombaan mereka. Mereka mungkin juga mempromosikan pengajaran yang tidak sehat di dalam gereja. Jadi, siapa yang bertanggung jawab untuk membantu mereka? Penulis tidak mengatakan, “Biarkan Yosi saja yang mengurusnya. Untuk itulah dia digaji gereja.” Tidak, dia tidak mengatakan demikian. Bukan hanya tanggung jawab saya, tetapi adalah tanggung jawab bersama kita sebagai gereja untuk membantu orang-orang yang pahit di dalam gereja.

Ketiga, kita harus memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang menjadi cabul atau mempunyai nafsu yang rendah seperti Esau. Mari saya jelaskan. Ini bukan hanya teguran terhadap dosa seksual, tetapi ini adalah teguran terhadap hidup yang di dorong nafsu yang salah. Dan penulis menggunakan cerita Esau sebagai contoh. Esau adalah saudara kembar dari Yakub. Esau suka berburu sementara Yakub suka memasak. Jadi, suatu hari, Esau sedang lelah karena berburu. Dan ketika dia kembali, dia melihat Yakub sedang memasak sup merah. Dan dia berkata kepada Yakub, “Kub, berikan aku sebagian dari sup itu. Aku sangat lapar.” Yakub menjawab, “Tentu, tetapi ada harga yang harus kamu bayar. Aku akan menukarkan sup ini dengan hak kesulunganmu.” Saudara, ini adalah pertukaran yang sangat tidak logis. Dalam budaya itu, hak kesulungan bukanlah sekedar hak tentang siapa yang lebih tua. Jika anda adalah anak sulung dalam keluarga, anda menerima berkat anak sulung dan andalah yang membawa nama dan reputasi keluarga anda dalam masyarakat. Dalam konteks ini, Esau akan menjadi orang yang menerima dan membawa berkat Allah kepada Abraham. Ini adalah berkat yang luar biasa. Ini adalah berkat yang tidak ternilai harganya. Tetapi tahukah anda apa yang dikatakan Esau? “Okay, aku tukarkan hak kesulunganku dengan sebagian dari sup merahmu. Apa gunanya hak kesulungan jika aku mati kelaparan?” Dan dia bersumpah untuk memberikan hak kesulungannya kepada Yakub. Ini mungkin adalah transaksi terbodoh dalam sejarah manusia. Apakah anda setuju? Ini seperti menukarkan Ferrari yang baru dengan Hyundai i20 yang lama. Tidak ada orang yang akan melakukan pertukaran ini. Tetapi Esau melakukannya. Esau didorong oleh nafsu yang salah dan hanya peduli pada apa yang terasa enak pada saat itu. Dia memilih kepuasan jangka pendek daripada kesenangan jangka panjang.

Dan sebelum kita menjelek-jelekkan Esau tentang betapa bodohnya dia, kita perlu ingat bahwa kita juga sering melakukan kesalahan yang sama. Setiap kali kita membuka situs porno, setiap kali kita berbohong, setiap kali kita tidur dengan seseorang yang bukan pasangan kita, setiap kali kita bergosip, setiap kali kita meminum obat itu, setiap kali kita memakai kekerasan terhadap pasangan kita, kita memilih sup merah daripada hak kesulungan. Kita memilih apa yang terasa enak saat itu daripada janji-janji Allah. Kita memilih menikmati kepuasan jangka pendek daripada kesenangan selamanya. Dan dengarkan apa yang penulis katakan dalam Ibrani 12:17 – Sebab kamu tahu, bahwa kemudian, ketika ia hendak menerima berkat itu, ia ditolak, sebab ia tidak beroleh kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya, sekalipun ia mencarinya dengan mencucurkan air mata. Ini adalah peringatan yang sangat keras. Esau akhirnya menyesali apa yang dia lakukan tetapi pada saat itu sudah terlambat. Esau menangis tetapi tidak ada yang bisa dia lakukan. Pelajarannya bukanlah bahwa Allah tidak akan mengampuni kita ketika kita bertobat. Tidak. Allah akan selalu mengampuni pertobatan yang tulus. Tetapi apa yang dicari Esau bukanlah pertobatan sejati. Apa yang diinginkan Esau adalah berkat anak sulung. Dia menangis bukan karena dia membenci dosa-dosanya tetapi karena dia menyesali konsekuensi dari dosanya. Hatinya telah menjadi begitu keras sehingga dia tidak bisa lagi bertobat. Dan penulis Ibrani memberi tahu kita bahwa adalah tanggung jawab bersama kita agar tidak ada orang di sekitar kita yang menjadi seperti Esau. Kita harus berani memperingatkan mereka sebelum terlambat. Adalah tanggung jawab bersama kita untuk memastikan bahwa tidak seorang pun dari kita meninggalkan iman kekristenan.

Saya akan tutup dengan ini. Perlombaan kekristenan adalah panjang dan sukar. Perlombaan ini penuh dengan kesulitan dan tantangan. Dan sangat mudah bagi kita untuk menjadi lelah dan capek dalam perlombaan kita. Jadi bagaimana kita bisa terus berlari dan menyelesaikan perlombaan dengan baik? Jawabannya ada di ayat 3. Ibrani 12:3 – Ingatlah selalu akan Dia, yang tekun menanggung bantahan yang sehebat itu terhadap diri-Nya dari pihak orang-orang berdosa, supaya jangan kamu menjadi lemah dan putus asa. Kekuatan bagi kita untuk menyelesaikan perlombaan dengan baik adalah dengan mengingat Yesus. Pikirkan tentang Yesus. Renungkan Yesus. Yesus tidak harus menanggung permusuhan dari orang-orang berdosa. Yesus tidak harus menderita di kayu salib. Tetapi dia melakukannya. Yesus menanggung permusuhan sampai mati sebagai pengganti kita. Di kayu salib, dia mengambil semua yang pantas kita dapatkan. Dia menyerap hukuman Allah terhadap dosa. Yesus mentaati Allah Bapa dengan sempurna, tetapi Ia dihukum di kayu salib karena ketidaktaatan kita sehingga kita dapat memiliki keyakinan bahwa Allah tidak sedang menghukum kita dalam kesulitan kita. Ketika kita menaruh iman kita kepada Yesus, kita dapat yakin bahwa semua kesulitan yang kita alami bukanlah hukuman tetapi disiplin kasih dari Bapa surgawi kita. Yesus mencari kita dalam kesulitannya sehingga kita dapat mencari dia dalam kesulitan kita. Jika kita meragukan kasih Allah karena kesulitan yang kita alami, ingat akan Yesus. Yesus telah membayar semua hukuman dosa kita dan dia ada bersama dengan kita dalam perlombaan kita. Jadi, jangan menjadi lemah dan putus asa. Terus berlari dalam perlombaan. Dan dalam kesulitan, jangan lari dari Allah tetapi larilah kepada Allah karena Dia adalah Bapa kita yang berdaulat dan penuh kasih. Mari kita berdoa.

Discussion questions:

  1. Rate yourself in how well you deal with hardship (1 = very poor, 5 = hardship is my bestfriend). Explain the reasoning behind your answer.
  2. “God is not in the repair business; He is in the discipline business.” What does this say about our hardship and how does it encourage us?
  3. There are three possible responses to God’s discipline: Indifferent, lose heart, rejoice. Which one describes your most frequent response and why?
  4. Have you ever experienced being “trained” by God? What happened?
  5. Look at the corporate responsibility of Christians. What can we do to improve our corporate responsibility? Be specific.
  6. How we can we know that God’s discipline is not his punishment but rather his love for us?
No Comments

Sorry, the comment form is closed at this time.